PAIAN TUA PAKPAHAN
KLO MAU YANG LAINNYA LIAT AJA DI "ARSIP BLOG

Minggu, 17 Oktober 2010

ASKEP HERPES DAN TINEA

ASKEP HERPES DAN TINEA
MAKALAH


disusun untuk memenuhi tugas mata ajaran Keperawatan Medikal Bedah III










 oleh :

 KELAS SANTA TERESA



PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN
Sekolah tinggi ilmu kesehatan santo borromeus
bandung

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Kulit  adalah organ yang sangat penting untuk mengetahui tingkat kesehatan seseorang. Kecantikan seseorang secara fisik dapat dilihat dari kesehatan kulitnya. Kulit yang sehat mencerminkan kebersihan, status gizi, status emosi/psikologis, juga kepribadian seseorang. Oleh karena itu, kesehatan kulit/integumen perlu mendapat perhatian yang cukup besar.
Apabila kulit mengalami kelainan atau gangguan akan membawa dampak baik fisik maupun psikologis pada penderita. Oleh karena itu, pemberian asuhan keperawatan yang tepat sangat diperlukan.  Dalam makalah ini kami akan memaparkan beberapa contoh kelainan kulit yaitu Herpes dan Tinea serta bagaimana penatalaksanaan kita sebagai perawat dalam merawat pasien dengan kelainan kulit tersebut.

B.      Tujuan

·            Tujuan Umum

Agar mahasiswa-mahasiswi STIKes St. Borromeus memahami asuhan keperawatan pada klien dengan herpes dan tinea.

·            Tujuan Khusus

Agar mahasiswa-mahasiswi STIKes St. Borromeus mengerti, mengetahui, dan memahami isi tentang:

û   Anatomi fisiologi kulit
û   Asuhan keperawatan pada klien dengan herpes simpleks
û   Asuhan keperawatan pada klien dengan herpes zoster
û   Asuhan keperawatan pada klien dengan tinea
  
C.      Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang kami gunakan dalam penyusunan makalah ini yakni melalui studi literature, browsing internet, dan diskusi kelompok.

D.    Sistematika Penulisan

Makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN meliputi latar belakang, tujuan, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN TEORITIS meliputi Anatomi Fisiologi Kulit, Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Herpes, Asuhan keperawatan pada klien dengan  Tinea. BAB III PENUTUP meliputi simpulan dan saran.


  





BAB II
TINJAUAN TEORETIS

A.      ANATOMI FISIOLOGI KULIT

Kulit merupakan pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurunya, yaitu 15 persen dari berat tubuh dan luasnya 1,50-1,75m². Rata-rata tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (6mm) terdapat di telapak tangan dan kaki dan yang paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis.
Gambar struktur anatomi kulit

Bagian-bagian Kulit Manusia

Kulit terbagi atas tiga lapisan pokok, yaitu epidermis, dermis atau korium, dan jaringan subkutan atau subkutis.

a)      Epidermis

Epidermis terbagi atas empat lapisan.:

1. Lapisan basal atau stratum germinativium.
2. Lapisan malpighi atau stratum spinosum.
3. Lapisan granular atau stratum granulosum.
4. Lapisan tanduk atau stratum korneum.
Epidermis mengandung juga : Kelenjar ekrin, kelenjar apokrin, kelenjar sebaseus, rambut dan kuku. Kelenjar keringat ada dua jenis, ekrin dan apokrin. Fungsinya mengatur suhu, menyebabkan panas dilepaskan dengan cara penguapan. Kelanjar ekrin terdapat disemua daerah kulit, tetapi tidak terdapat di selaput lendir. Seluruhnya berjumlah antara 2 sampai 5 juta yang terbanyak ditelapak tangan. Sektretnya cairan jernih kira-kira 99 persen mengandung klorida,asam laktat,nitrogen dan zat lain.
Kelenjar apokrin adalah kelenjar keringat besar yang bermuara ke folikel rambut, terdapat di ketiak, daerah anogenital, putting susu dan areola. Kelenjar sebaseus terdapat diseluruh tubuh, kecuali di tapak tangan, tapak kaki dan pungung kaki. Terdapat banyak di kulit kepala, muka, kening, dan dagu. Sekretnya berupa sebum dan mengandung asam lemak, kolestrol dan zat lain.

b)      Dermis

Dermis atau korium merupakan lapisan bawah epidermis dan diatas jaringan subkutan. Dermis terdiri dari jaringan ikat yang dilapisan atas terjalin rapat (pars papillaris), sedangkan dibagian bawah terjalin lebih lebih longgar (pars reticularis). Lapisan pars retucularis mengandung pembuluh darah, saraf, rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebaseus.

c)      Jaringan Subkutan (Subkutis atau Hipodermis)

Jaringan subkutan merupakan lapisan yang langsung dibawah dermis. Batas antara jaringan subkutan dan dermis tidak tegas. Sel-sel yang tyerbanyak adalah liposit yang menghasilkan banyak lemak. Jaringan subkutan mengandung saraf, pembuluh darah dan limfe, kandungan rambut dan di lapisan atas jaringan subkutan terdapat kelenjar keringan. Fungsi dari jaringan subkutan adalah penyekat panas, bantalan terhadap trauma dan tempat penumpukan energi.

Fungsi-fungsi Dari Kulit

Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan tubuh dengan lingkungan. Fungsi kulit adalah sebagai berikut :
a) fungsi proteksi
b) fungsi absorpsi
c) fungsi ekskresi
d) fungsi persepsi
e) fungsi pengaturan suhu tubuh
f) fungsi pembentukan pigmen

Saraf pada Jaringan Kulit

Jika kulit diberi rangsangan listrik maka elemen-elemen kontraktil akan memendek atau kulit akanberinteraksi. Rangsangan ini berasal dari pusat kesadaran (otak) dan disalurkan melalui serabut sarafpengerak menuju serabut-serabut kulit. Seperti diketahui kulit berkontraksi menurut rangsangan yang datang, bila tidak ada rangsangan unit pengerak dalam keadaan istirahat (relax) dan otot dalam keadaan lemas (flaccid). Pengiriman rangsangan dari saraf ke serabut kulit dilakukan melalui sambungan yang dinamakan junction neuromuscular. Pada akhir ujung saraf ini masih terletak diluar selaput tipis pembungkus serabut kulit. Dibagian akhir ini ditemukan butiran-butiran halus yang disebut kuhme atau
gelembung-gelembung asetilkolin. Asetilkolin merupakan hormon yang dikeluarkan oleh bagian saraf akhir dengan tujuan untuk merangsang serabut kulit. Karena rangsangan ini membuat permeabilitas sel-sel kulit berubah sehingga ia dapat meneruskan rangsangan tadi keseluruh bagain kulit. Akibatnya kulit berkontraksi.


B.      ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HERPES ZOOSTER DAN HERPES SIMPLEKS

1.      HERPES SIMPLEKS

a.      Pengertian

·           Herpes simpleks adalah infeksi akut oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai adanya vesikel berkelompok di atas kulit yang eritematosa di daerah mukokutan. Herpes simpleks disebut juga fever blister, cold score, herpes febrilis, herpes labialis, herpes progenitalis. (Kapita Selekta Kedokteran ed.III, 2000:151)
·           Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens. (Adhi DJuanda, Ilmu penyakit kulit dan kelamin,2000:355)
·           Herpes simpleks adalah penyakit yang mengenai kulit dan mukosa, bersifat kronis dan residif , disebabkan oleh virus herpes simpleks/herpes virus hominis. (FK Unair, 1993 dalam Loetfia Dwi Rahariyani tahun  2008 : 45)
·           Kesimpulan: herpes simpleks adalah penyakit pada kulit dan mukosa yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I dan II ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok dan ertitematosa, ditularkan melalui udara dan sebagian kecil melalui kontak kulit langsung.

b.      Etiologi

Berdasarkan struktur antigeniknya dikenal 2 tipe virus herpes simpleks:

·           Virus herpes simpleks tipe I (HSV I). Penyakit kulit/selaput lendir yang ditimbulkan biasanya disebut herpes simpleks saja, atau dengan nama lain herpes labialis, herpes febrilis. Biasanya penderita terinfeksi virus ini pada usia kanak-kanak melalui udara dan sebagian kecil melalui kontak langsung seperti ciuman, sentuhan atau memakai baju/handuk mandi bersama. Lesi umumnya dijumpai pada tubuh bagian atas. Termasuk mata dengan rongga mulut, hidung dan pipi; selain itu, dapat juga dijumpai di daerah genitalia, yang penularannya lewat koitus orogenital (oral sex).

·           Virus herpes simpleks tipe II (HSV II, “virus of love”). Penyakit ditularkan melalui hubungan seksual. Tetapi dapat juga terjadi tanpa koitus, misalnya dapat terjadi pada dokter/dokter gigi dan tenaga medik. Lokalisasi lesi umumnya adalah bagian tubuh di bawah pusar, terutama daerah genitalia lesi ekstra-genital dapat pula terjadi akibat hubungan seksual orogenital.

c.      Patofisiologi

HSV disebarkan melalui kontak langsung antara virus dengan mukosa atau setiap kerusakan di kulit. Virus herpes tidak dapat hidup di luar lingkungan yang lembab dan penyebaran infeksi melalui cara selain kontak langsung kecil kemungkinannya terjadi. HSV memiliki kemmpuan untuk menginvasi beragam sel melalui fusi langsung dengan membrane sel. pada infeksi aktif primer, virus menginvasi sel pejamu dan cepat berkembang dengan  biak, menghancurkan sel pejamu dan melepaskan lebih banyak  virion untuk menginfeksi sel-sel disekitarnya.  Pada infeksi aktif  primer, virus menyebar melalui saluran limfe ke kelenjar limfe regional dan menyebabkan  limfadenopati.  Tubuh melakukan respon imun seluler dan humoral yang menahan infeksi tetapi tidak dapat mencegah kekambuhan infeksi aktif.  Setelah in feksi awal timbul fase laten. Selama masa ini virus masuk ke dalam sel-sel sensorik  yang mempersarafi daerah yang terinfeksi dan bermigrasi  disepanjang akson untuk bersembunyi di dalam ganglion radiksdorsalis  tempat virus berdiam tanpa menimbulkan sitotoksisitas atau gejala pada manusia.

d.      Tingkatan infeksi

1.      Infeksi primer

Tempat predileksi VHS tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang sering menggigiti jari (herpetic Whit-low). Virus ini juga sebagai penyebab herpes enfalitis. Infeksi primer oleh VHS tipe II mempunyai tempat predileksi di daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus.
Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah genital kadang-kadang disebabkan oleh VHS tipe I sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut dapat disebabkan oleh VHS tipe II.
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira  2-6 minggu dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malese dan anoreksia, dan dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening regional hingga terjadi penyembuhan secara spontan.
Kelainan klinis yang dijumpai berupa rasa sakit serta vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi kusta dan kadang-kadang menagalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapati pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi VHS pada genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks.



2.      Fase laten

Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi VHS dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis. Penularan dapat tejadi pada fase ini, akibat pelepasan virus terus berlangsung meskipun dalam jumlah sedikit.

3.      Infeksi rekurens (infeksi kambuhan)

Bila penderita sebelumnya telah pernah berkontak dengan virus ini sebagai infeksi primer, kebanyakan penderita akan mengalami infeksi kambuhan (rekurens). Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dll), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis makanan yang merangsang (pedas, daging kambing) dan minuman yang merangsang (alkohol).
Lesi pada infeksi kambuhan ini biasanya lebih kecil dan lebih sedikit, tidak begitu terasa sakit. Gejala klinis yang timbul lebih ringan dari pada infeksi primer dan berlangsung kira-kira 7-10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat lain/tempat di sekitarnya (non loco).
Penderita yang mengabaikan penyakitnya dapat mengalami infeksi sekunder oleh kuman-kuman lain, sehingga gambaran klinisnya berubah menjadi luka yang kotor, berbau, dan disertai pembesaran getah bening regional. Infeksi sekunder dapat pula disertai oleh gejala sistemik, seperti demam, sakit kepala, badan lemas, dan muntah-muntah.

e.      Manifestasi Klinis

1.      Inokulasi kompleks primer (primary inoculation complex). Infeksi primer herpes simpleks pada penderita usia muda yang baru pertama kali terinfeksi virus ini dapat menyebabkan reaksi lokal dan sistemik yang hebat. Manifestasinya dapat berupa herpes labialis. Dalam waktu 24 jam saja, penderita sudah mengalami panas tinggi (39-40oC), disusul oleh pembesaran kelenjar limfe submentalis, pembengkakan bibir, dan lekositosis di atas 12.000/mm3, yang 75-80%nya berupa sel polimorfonuklear. Terakhir, bentuk ini diikuti rasa sakit pada tenggorokan. Insidens tertinggi terjadi pada usia antara 1-5 tahun. Waktu inkubasinya 3-10 hari. Kelainan akan sembuh spontan setelah 2-6 minggu.

2.      Herpes gingivostomatitis. Kebanyakan bentuk ini terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda. Manifestasi klinis berupa panas tinggi, limfadenopati regional dan malaise. Lesi berupa vesikel yang memecah dan terlihat sebagai bercak putih atau ulkus. Kelainan ini dapat meluas ke mukosa bukal, lidah, dan tonsil, sehingga mengakibatkan rasa sakit, bau nafas yang busuk, dan penurunan nafsu makan. Pada anak-anak dapat terjadi dehidrasi dan asidosis. Kelainan ini berlangsung antara 2-4 minggu.


3.      Infeksi herpes simpleks diseminata. Bentuk herpes ini terjadi pada anak-anak usia 6 bulan sampai 3 tahun, dimulai dengan herpes gingivostomatitis berat. Jenis ini dapat mengenai paru-paru dan menimbulkan viremia masif, yang berakibat gastroenteritis disfungsi ginjal dan kelenjar adrenal, serta ensefalitis. Kematian banyak terjadi pada stadium viremia yang berat.

4.      Herpes genitalis (progenitalis). Infeksi primer terjadi setelah melalui masa tunas 3-5 hari. Penularan dapat melalui hubungan seksual secara genito-genital, orogenital, maupun anogenital. Erupsinya juga berupa vesikel tunggal  atau menggerombol, bilateral, pada dasar kulit yang eritematus, kemudian berkonfluensi, memecah, membentuk erosi atau ulkus yang dangkal disertai rasa nyeri. 31% penderita mengalami gejala konstitusi berupa demam, malaise, mialgia, dan sakit kepala; dan 50% mengalami limfadenopati inguinal.
             

f.       Insiden

Karena HSV tidak dapat disembuhkan maka persentasi orang  yang terinfeksi meningkat seiring dengan usia. Sekitar 1 dari 4 perempuan  dan  1 dari 5 laki-laki  terinfeksi oleh  virus herpes genitalis. Kerentanan terhadap infeksi herpes bervariasi. HSV lebih sering dijumpai pada perempuan daripada  laki-laki, mungkin karena luas permukaan mukosa saluran genetalia perempuan yang lebih besar dan terjadinya kerusakan  mikro di mukosa  selam hubungan kelamin.  Dibandingkan dengan populasi umum, orang yang terinfeksi oleh HIV lebih rentan terhadap infeksi HSV   dan lebih menular  ke orang lain setelah  terjangkit virus ini. Orang yang seropositif  HSV-1 sedikit banyak tampaknya terproteksi dari infeksi HSV-2. Karena infeksi HSV tidak mengancan nyawa dan sering ringan atau asimtomatik, maka banyak orang yang tidak menyadari besarnya  penyakit ini.

g.      Komplikasi

- Infeksi bakteri sekunder
- Eritema multiforme portherpetika

h.      Tes Diagnostik

·           Pada sebagian besar kasus, herpes genetalis  dapat didiagnosis secara klinis saat  infeksi akut atau rekuren. Sebelum ditemukannya uji amplifikasi DNA, biakan virus terhadap vesikel  atau pustule merupakan  baku emas untuk diagnosis. Biakan yang diambil dari lesi yang sudah berkrusta dan infeksi rekuren  kurang sensitive, dan sering menyebabkan  hasil uji negatif. Tersedia uji deteksi antigen dengan EIA atau uji  fluoresensi langsung yang cepat  dan murah. Herpes genetalis dilaporkan menyebabkan kelainan pada asupan papanicolaou ( pap smear ), walaupun tidak bersifat diagnostic. Karena tingginya frekuensi infeksi yang asimtomatik dan non tipikal  maka dianjurkan pemeriksaan penyaring terhadap kelompok beresiko tinggi.

·           Pada percobaan Tzanck dengan  perwarnaan Giemsa dari bahan vesikel dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.

i.       Penatalaksanaan medis

Karena infeksi HSV tidak dapat disembuhkan, maka terapi ditujukan untuk mengendalikan gejala dan menurunkan pengeluaran virus. Obat antivirus analog nukleosida  merupakan terapi yang dianjurkan. Obat-obatan ini bekerja dengan menyebabkan deaktivasi atau mengantagonisasi DNA polymerase  HSV yang pada gilirannya menghentikan sintesis DNA dan replikasi virus. Tiga obat antivirus yang dianjurkan oleh petunjuk CDC 1998 adalak asiklovir, famsiklovir, dan valasiklovir. Obat antivirus harus dimulai sejak awal tanda kekambuhan untuk mengurangi dan mempersingkat gejala. Apabila obat tertunda sampai lesi kulit muncul, maka gejala hanya memendek 1 hari. Pasien yang mengalami kekambuhan 6 kali atau lebih setahun sebaiknya ditawari terapi supresif setiap hari yang dapat mengurangi frekuensi kekambuhan sebesar 75%.
Terapi topical  dengan krim atau salep antivirus tidak terbukti efektif. Terapi supresif atau profilaksis dianjurkan untuk mengurangi  resiko infeksi perinatal dan keharusan melakukan seksio sesarea pada wanita yang positif HSV. Vaksin untuk mencegah infeksi  HSV-2  sekarang sedang diteliti.

j.       Konsep Proses Keperawatan

Pengkajian

a)      Biodata.
       Dapat terjadi pada semua orang di semua umur; sering terjadi pada remaja dan dewasa muda. Jenis kelamin; dapat terjadi pada pria dan wanita. Pekerjaan; beresiko tinggi pada penjaja seks komersial.

b)      Keluhan utama
       Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ketempat palayanan kesehatan adalah nyeri pada lesi yang timbul.

c)      Riwayat penyakit sekarang
       Kembangkan pola PQRST pada setiap keluhan klien. pada beberapa kasus, timbul lesi/vesikel perkelompok pada penderita yang mengalami demam atau penyakit yang disertai peningkatan suhu tubuh atau pada penderita yang mengalami trauma fisik maupun psikis. Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada area kulit yang mengalami peradangan berat dan vesikulasi yang hebat.

d)      Riwayat penyakit dahulu
       Sering diderita kembali oleh klien yang pernah mengalami penyakit herpes simplek atau memiliki riwayat penyakit seperti ini.

e)      Riwayat penyakit kelarga
       Ada anggota keluarga atau teman dekat yang terinfeksi virus ini.

f)       Kebutuhan psikososial
       Klien dengan penyakit kulit, terutama yang lesinya berada pada bagian muka atau yang dapat dilihat oleh orang, biasanya mengalami gangguan konsep diri.hal itu meliputi perubahan citra tubuh, ideal diri tubuh, ideal diri, harga diri, penampilan peran, atau identitas diri. Reaksi yang mungkin timbul adalah:

1.      Menolak untuk menyentuh atau melihat salah satu bagian tubuh.
2.      Menarik diri dari kontak social.
3.      Kemampuan untuk mengurus diri berkurang.

g)      Kebiasaan sehari-hari.
Dengan adanya nyeri, kebiasaan sehari-hari klien juga dapat mengalami gangguan, terutama untuk istirahat/tidur dan aktivitas. Terjadi gangguan BAB dan BAK pada herpes simpleks genitalis. Penyakit ini sering diderita oleh klien yang mempunyai kebiasaan menggunakan alat-alat pribadi secara bersama-sama atau klien yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan.


h)      Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien bergantung pada luas, lokasi timbulnya lesi, dan daya tahan tubuh klien. pada kondisi awal/saat proses peradangan , dapat terjadi peningkatan suhu tubuh atau demam dan perubahan tanda-tanda vital yang lain. Pada pengkajian kulit, ditemukan adanya vesikel-vesikel berkelompok yang nyeri ,edema di sekitar lesi, dan dapat pula timbul ulkus pada infeksi sekunder. Perhatikan mukosa mulut, hidung, dan penglihatan klien. pada pemeriksaan genitalia pria, daerah yang perlu diperhatikan adalah bagian glans penis, batang penis, uretra, dan daerah anus. Sedangkan pada wanita, daerah yang perlu diperhatikan adalah labia mayor dan minor, klitoris, introitus vagina, dan serviks. Jika timbul lesi, catat jenis, bentuk, ukuran / luas, warna, dan keadaan lesi. Palpasi kelenjar limfe regional, periksa adanya pembesaran; pada beberapa kasus dapat terjadi pembesaran kelenjar limfe regional.
Untuk mengetahui adanya nyeri, kita dapat mengkaji respon individu terhadap nyeri akut secara fisiologis atau melalui respon perilaku. Secara fisiologis,terjadi diaphoresis, peningkatan denyut jantung, peningkatan pernapasan, dan peningkatan tekanan darah; pada perilaku, dapat juga dijumpai menangis, merintih, atau marah. Lakukan pengukuran nyeri dengan menggunakan skala nyeri 0-10 untuk orang dewasa. Untuk anak-anak, pilih skala yang sesuai dengan usia perkembangannya kita bisa menggunakan skala wajah untuk mengkaji nyeri sesuai usia; libatkan anak dalam pemilihan.

Diagnosa keperawatan

1.      Nyeri akut b.d inflamasi jaringan
2.      Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan, sekunder akibat penyakit herpes simpleks
3.      Risiko penularan infeksi b.d pemajanan melalui kontak (kontak langsung, tidak langsung , kontak droplet)








Intervensi keperawatan

1.      Nyeri akut b.d inflamasi jaringan

Hasil yang diharapkan:
Ø   Klien mengungkapkan nyeri hilang / berkurang
Ø   Menunjukkan mekanisme koping spesifik untuk nyeri dan metode untuk mengontrol nyeri secara benar.
Ø   Klien menyampaikan bahwa orang lain memvalidasi adanya nyeri.

rencana keperawatan:
ü   Kaji kembali factor yang menurunkan toleransi nyeri.
ü   Kurangi atau hilangkan factor yang meningkatkan pengalaman nyeri.
ü   Sampaikan pada klien penerimaan perawat tentang responsnya terhadap nyeri ; akui adanya nyeri , dengarkan dan perhatikan klien saat mengungkapkan nyerinya bertujuan untuk lebih memahaminya.
ü   Kaji adanya kesalahan konsep pada keluarga tentang nyeri atau tindakannya.
ü   Beri informasi atau penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab rasa nyeri.
ü   Diskusikan dengan klien tentang penggunaan terapi distraksi, relaksasi, imajinasi , dan ajarkan tehnik / metode yang dipilih.
ü   Jaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekitar klien
ü   Kolaborasikan dengan tim medis untuk pemberian analgesik
ü   Pantau TTV
ü   Kaji kembali respons klien terhadap tindakan penurunan rasa nyeri.

2.      Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan, sekunder akibat penyakit herpes simpleks

Hasil yang diharapkan:
Ø   Klien mengatakan dan menunjukkan penerimaan atas penampilannya.
Ø   Menunjukkan keinginan dan kemampuan untuk melakukan perawatan diri.
Ø   Melakukan pola-pola penanggulangan yang baru.




Rencana keperawatan:
ü   Ciptakan hubungan saling percaya antara klien-perawat.
ü   Dorong klien untuk menyatakan perasaannya , terutama tentang cara ia merasakan , berpikir, atau memandang dirinya.
ü   Jernihkan kesalahan konsepsi individu tentang dirinya, penatalaksanaan, atau perawatan dirinya.
ü   Hindari mengkritik.
ü   Jaga privasi dan lingkungan individu.
ü   Berikan informasi yang dapat dipercaya dan penjelas informasi yang telah diberikan.
ü   Tingkatkan interaksi social.
o    Dorong klien untuk melakukan aktivitas.
o    Hindari sikap terlalu melindungi , tetapi terbatas pada permintaan individu.
ü   Dorong klien dan keluarga untuk menerima keadaan.
ü   Beri kesempatan klien untuk berbagi pengalaman dengan orang lain.
ü   Lakukan diskusi tentang pentingnya mengkomunikasikan penilaian klien dan pentingnya system daya dukungan bagi mereka.
ü   Dorong klien untuk berbagi rasa, masalah, kekuatiran, dan persepsinya.

3.      Risiko penularan infeksi b.d pemajanan melalui kontak (kontak langsung, tidak langsung , kontak droplet)

Hasil yang diharapkan:
Ø   Klien menyebutkan perlunya isolasi sampai ia tidak lagi menularkan infeksi.
Ø   Klien dapat menjelaskan cara penularan penyakit.

Rencana keperawatan:
ü   Jelaskan tentang penyakit herpes simpleks, penyebab, cara penularan, dan akibat yang ditimbulkan.
ü   Anjurkan klien untuk menghentikan kagiatan hubungan seksual selama sakit dan jika perlu menggunakan kondom.
ü   Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan kegiatan seksual dengan satu orang ( satu sama lain setia ) dan pasangan yang tidak terinfeksi ( hubungan seks yang sehat ).


ü   Lakukan tindakan pencegahan sesuai:
o    Cuci tangan sebelum dan setelah ke semua klien atau kontak dengan specimen.
o    Gunakan sarung tangan setiap kali melakukan kontak langsung dengan klien
o    Anjurkan klien dan keluarga untuk memisahkan alat-alat mandi klien , dan tidak menggunakannya bersama.
o    Kurangi transfer pathogen dengan cara mengisolasi klien selama sakit ( Karena penyakit ini disebabkan oleh virus yang dapat menular melalui udara ).

2.      HERPES ZOSTER (SHINGLES)

a.      Pengertian

·           Herpes Zoster adalah penyakit yang diserang oleh infeksi Virus Varicella-zoster  yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivitas virus yang terjadi setelah infeksi primer.(Adhi Djuanda, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 2000 : 107)
·           Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat, terutama terjadi pada orang tua, ditandai adanya nyeri radikuler unilateral serta adanya erupsi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang diinervasi oleh serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensoris dari nervus cranialis. (Marwali Harahap, Ilmu Penyakit Kulit, 2000: 92)
·           Herpes zoster (dampa, cacar ular) adalah penyakit yang disebabkan infeksi virus varisela zoster yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer. (Kapita Selekta Kedokteran ed.III,2000 :128)
·           Kesimpulan: herpes zoster adalah penyakit kulit dan mukosa yang disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster ,ditandai adanya nyeri radikuler unilateral serta adanya erupsi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang diinervasi oleh serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensoris dari nervus cranialis.

b.      Etiologi

Reaktivasi virus varisela zoster

c.      Patofisiologi

Penyebab herpes  zoster adalah virus varisela zoster. Virus ini masuk ke dalam tubuh melalui lesi pada kulit , mukosa saluran napas atas, dan orofaring. Vius ini berkembang biak serta menyebar ke berbagai organ , terutama ke kulit dan lapisan mukosa, selanjutnya masuk ke ujung saraf sensoris, dan menuju ganglion saraf tepi dan kornu posterior. Saat virus masuk pertama kali ke tubuh disebut infeksi primer, yang kemudian menimbulkan vesikel.
Setelah infeksi primer tersebut selesai, virus tidak hilang tuntas dari tubuh melainkan menetap pada bagian ganglion serta bersembunyi di sana beberapa tahun. Pertahanan dan kekebalan tubuh yang menurun dapat menjadi factor utama penyebab virus ini aktif kembali.
Saraf yang sering terkena adalah daerah torakalis , kemudian daerah-daerah cranial, lumbal,servikal, dan sacral. Masa inkubasinya 2-3 hari setelah kontak dengan varisela. Bila tidak diketahui adanya kontak, kasus tersebut merupakan kasus laten.
Factor-faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya herpes zoster adalah:

1.      Penurunan imunitas tubuh
2.      Pemakaian kortikosteroid.
3.      Radio terapi
4.      Obat-obat immunosupresif
5.      Stress emosi

d.      Manifestasi Klinis

Keluhan utama penyakit ini adalah rasa sakit, nyeri, dan pegal (neuritis) serta adanya vesikel yang berkelompok sepanjang satu dermatom. Perjalanan dan gejala penyakit ini mulai dari ringan, sampai dengan berat. Adapun stadium dari penyakit herpes zoster:

1.      Stadium prodormal (gejala awal)
Dapat berifat sistemik dan local. Gejala local berupa rasa gatal/nyeri pada dermatom ynang terserang disertai dengan rasa panas /terbakar. Gejala sistemik berupa demam, malaise, dan nyeri kepala.

2.      Stadium erupsi
Mula-mula timbul papula atau plakat berbentuk urtika. Setelah 1-2 hari, akan timbul gerombolan vesikel / bintil-bintil berair yang tersusun berkelompok diatas  kulit yang eritematosa , sedangkan kondisi kulit di antara gerombolan lain tidak sama. Lokalisasi lesi sesuai dengan dermatom yang dipersarafi oleh satu atau lebih saraf yeng terkena. Semua saraf dapat terkena , yang tersering adalah saraf torakal, lumbal/ cranial. Stadium ini biasanya berlangsung selama 2 minggu dengan gejala utama berupa rasa nyeri. Rasa nyeri yang dirasa bersifat konstan atau intermiten , diikuti dengan rasa terbakar pada bagian visceral.

3.      Stadium krustasi:
Vesikula menjadi purulen , mengalami krustasi , dan lepas dalam waktu 1-2 minggu. Sering terjadi neuralgia pasca herpetika, terutama pada orang tua, yang dapat berlangsung beberapa bulan sampai beberapa tahun. Selain itu, ada pula gejala parestesia yang bersifat sementara.

e.      Insiden

Insiden penyakit herpes zoster ini tersebar merata di seluruh dunia dan tidak ada perbedaan angka kesakitan antara laki-laki dan perempuan. Angka kesakitan meningkat seiring peningkatan usia. Diperkirakan kurang lebih terdapat 1,3 – 5 penderita per 1000 orang / tahun. Lebih dari 2/3 penderita berusia >50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun.

f.       Komplikasi

1.      Infeksi sekunder
2.      Neuralgia pasca herpetika adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah berkas penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakit sembuh. Nyeri ini dapat berlangsung sampai beberapa bulan bahkan beberapa tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi dalam kehdupan sehari-hari. Kecenderungan ini dijumpai pada orang yang terkena herpes zoster  di atas usia 40 tahun.
3.      keratitis akut, skleritis,  uveitis,  glaucoma sekunder, ptosis, korioretinitis, neuritis optika dan paresis otot penggerak bola mata.
4.      berupa komplikasi dari herpes zoster oftalmikus.
5.      Herpes zoster generalisata, bentuk klinis yang berat dengan gejala umum yang berat dan lesi timbul tersebar merata ke seluruh tubuh.
6.      Alopesia arkata
7.      Sindrom Ramsay Hunt. Gangguan pada saraf fasialis dan sarah optikus menimbulka gejala lumpuh pada otot wajah (paralisis Bell), telinga berdenging, sakit kepala seperti berputar, gangguan pendengaran dan mual.
8.      Gangren superfisialis, menunjukan Herpes zoster yang berat, mengakibatkan hambatan penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.

g.      Tes Diagnostik

·           Sitologi (64% tzanck smear positif); adanya sel raksasa yang multilokuler dan sel-sel okantolitik.
·           Kultur dari cairan vesikel dan tes antibody : digunakan untuk membedakan diagnosis herpes virus
·           Immunofluororescent : mengidentifikasi varicella di sel kulit
·           Pemeriksaan histopatologik
·           Pemerikasaan mikroskop electron
·           Kultur virus
·           Identifikasi anti gen / asam nukleat VVZ
·           Deteksi antibody terhadap infeksi virus

h.      Penatalaksanaan medis

Terapi sistemik
Terapi pada kasus herpes zoster bergantung pada tingkat keparahannya. Terapi sistemik umumnya bersifat simtomatik , untuk nyerinya diberikan analgesic. Jika disertai infeksi sekunder , diberikan antibiotic asiklovir . Herpes zoster sangat cocok dengan obat asiklovir yang diminum. Dengan cepat , obat akan menghentikan munculnya lepuhan kecil , memperkecil ukurannya, mengurangi rasa gatal , dan membunuh virus yang ada pada cairan lepuhan. Sebaliknya diberikan dalam 24-27 jam setelah terbentuknya lepuhan. Makin cepat diberikan, makin cepat khasiatnya. Obat itu harus diberikan dalam  pengawasan dokter. Obat oles bisa menolong kalau rasa nyeri yang timbul ringan  atau jika keluar cairan.
Terapi topikal
·       Pada stadium vesicular diberi bedak salicyl 2% atau bedak kocok kalamin untuk mencegah vesikel pecah
·       Bila vesikel pecah dan basah, diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik atau kompres dingin dengan larutan burrow 3 x sehari selama 20 menit
·       Apabila lesi berkrusta dan agak basah dapat diberikan salep antibiotik (basitrasin / polysporin ) untuk mencegah infeksi sekunder selama 3 x sehari.
i.       Konsep Proses Keperawatan

1.      Pengkajian

a)      Biodata. Cantumkan semua identitas klien : umur ( penyakit ini sering terjadi pada anak usia atau kelompok dewasa ), jenis kelamin ( tidak ada perbedaan angka kejadian antara laki-laki dan perempuan).
b)      Keluhan utama. Alasan yang sering membawa klien penderita herpes datang berobat ke rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lain adalah nyeri pada daerah terdapatnya vesikel berkelompok.
c)      Riwayat penyakit sekarang. Biasanya, klien mengeluh sudah beberapa hari demam dan timbul rasa gatal/nyeri pada dermatom yang terserang, klien juga mengeluh nyeri kepala dan terasa lelah. Pada daerah yang terserang , mula-mula timbul papula atau plakat berbentuk urtika, setelah 1-2 hari timbul gerombolan vesikula.
d)      Riwayat penyakit keluarga. Biasanya, keluarga atau teman dekat ada yang menderita herpes zoster, atau klien pernah kontak dengan penderita varisela atau herpes zoster.
e)      Riwayat psikososial. Perlu dikaji bagaimana konsep diri klien terutama tentang gambaran / citra diri dan harga diri. Sering kali kita jumpai gangguan konsep diri pada klien. hal ini karena herpes zoster merupakan penyakit yang merusak kulit dan mukosa , terutama pada kasus herpes zoster berat. Di samping itu, perlu dikaji tingkat kecemasan klien dan informasi/pengetahuan yang dimiliki tentang penyakit ini.
f)       Kebutuhan sehari-hari. Dengan adanya rasa nyeri, klien akan mengalami gangguan tidur/istirahat  dan juga aktivitas. Perlu dikaji juga tentang kebersihan diri klien dan cara perawatan diri, apakah alat-alat mandi/pakaian bercampur dengan orang lain. Seharusnya , alat mandi / handuk dan pakaian tidak bercampur dengan orang lain.
g)      Pemeriksaan fisik. Pada klien dengan herpes zoster jarang ditemukan gangguan kesadaran. Kecuali jika terjadi komplikasi infeksi lain. Tingkatan nyeri yang dirasakan oleh klien bersifat individual sehingga perlu dilakukan pemeriksaan tingkat nyeri dengan menggunakan skala nyeri. Apabila nyeri terasa hebat, tanda-tanda vital cenderung akan meningkat. Pada inspeksi kulit ditemukan adanya veiskel berkelompok sesuai dengan alur dermatom (ini tanda yang khas pada herpes zoster karena virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis). Vesikel ini berisi cairan jernih yang kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu), dapat menjadi pustula dan krusta. Kadang ditemukan vesikel berisi nanah dan darah yang disebut herpes zoster hemoragik. Apabila yang terserang adalah ganglion kranialis, dapat ditemukan adanya kelainan motorik. Hiperestesi pada daerah yang terkena member gejala yang khas , misalnya kelainan pada wajah karena gangguan pada nervus trigeminus, nervus fasialis, dan oligus.

2.      Diagnosa keperawatan

a)      Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan respons peradangan
b)      Perubahan kenyamanan b.d erupsi dermal dan pruritus.
c)      Cemas s.d adanya lesi pada wajah
d)      Potensial terjadi penyebaran penyakit s.d infeksi virus

3.      Intervensi keperawatan

a)      Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan respons peradangan

Hasil yang diharapkan:
·           Lesi mulai pulih, integritas jaringan kembali, dan area bebas dari infeksi lanjut.
·           Kulit kulit bersih dan area sekitar bebas dari edema.

Rencana tindakan:
1.     Kaji kembali tentang lesi, bentuk, ukuran , jenis, dan distribusi lesi
2.     Anjurkan klien untuk banyak istirahat.
3.     Pertahankan integritas jaringan kulit dengan jalan mempertahankan kebersihan dan kekeringan kulit.
4.     Laksanakan perawatan kulit setiap hari. Untuk mencegah pecahnya vesikel sehingga tidak terjadi infeksi sekunder , diberikan bedak salisil 2%. Bila erosif dapat diberikan kompres terbuka.
5.     Pertahankan kebersihan dan kenyamanan tempat tidur.
6.     Jika terjadi ulserasi, kolaborasikan dengan tim medis untuk pemberian salep antibiotic.

b)      Perubahan kenyamanan b.d erupsi dermal, nyeri, dan pruritus.

Hasil yang diharapkan :
1.      Kllien mengatakan nyeri dan ketidaknyamanan berkurang dalam batas yang dapat ditoleransi.
2.      Menampakkan ketenangan, ekspresi muka rileks.
3.      Kebutuhan istirahat tidur / istirahat

Rencana tindakan :
1.      Kaji lebih lanjut intensitas nyeri dengan menggunakan skala/peringkat nyeri.
2.      Jelaskan penyebab nyeri dan pruritus.
3.      Bantu dan ajarkan penanganan terhadap nyeri, penggunaan tekhnik imajinasi, tekhnik relaksasi dan lainnya.
4.      Tingkatan aktivitas distraksi.
5.      Jaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekitar klien.
6.      Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian terapi:

Ø  Analgesik untuk pereda/penawar rasa sakit
Ø  Larutan kalamin untuk mengurangi rasa gatal.
Ø  Steroid untuk mengurangi serangan neuralgia.

c)      Cemas s.d adanya lesi pada wajah

Hasil yang diharapkan:
ü  Pasien merasa yakin penyakitnya akan sembuh sempurna
ü  Lesi tidak ada infeksi sekunder



Rencana keperawatan:
·           Kaji tingkat kecemasan klien
·           Jalaskan tentang penyakitnya dan prosedur perawatan
·           Tingkatkan hubungan teraupeutik
·           Libatkan keluarga untuk member dukungan

d)      Potensial terjadi penyebaran penyakit s.d infeksi virus

Hasil yang diharapkan:
Ø  Setelah perawatan tidak terjadi penyebaran penyakit

Rencana keperawatan:
·           Isolasikan klien
·           Gunakan teknik aseptic dalam perawatannya
·           Batasi pengunjung dan minimalkan kontak langsung
·           Jelaskan pada klien/keluarga proses penularannya


C.      ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TINEA (DERMATOFITOSIS)

1.      Pengertian

·           Dermatofitosis adalah adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita.(Adhi Djuanda, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 2000:90)
·           Dermatofitosis adalah penyakit jamur pada jaringan yang mengandung zat tanduk, seperti kuku, rambut, dan stratum korneum pada epidermis, yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita.(Marwali Harahap,  ilmu penyakit kulit, 2000:75)
·           Dermatositosis adalah Infeksi fungus superficial pada kulit yang disebabkan oleh spesies dermatofilia Micosporum, Epidermophyton, atau Trycophyton. ( Hartanto, Herawati, Kamus Saku Mosby. 2009 : 544)
·           Kesimpulan : Dermatofitosis adalah penyakit jamur pada jaringan yang mengandung zat tanduk, disebabkan oleh spesies dermatofilia Micosporum, Epidermophyton, atau Trycophyton.

2.      Etiologi
Jamur  golongan : 
·            Microsporum
·           Trichophyton
·           Epidermophyton
3.     klasifikasi berdasarkan lokasi
v  Tinea Kapitis

a.      Definisi

*         Tinea Kapitis adalah kelainan kulit pada daerah kepala berambut yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita.
*         Tinea Kapitis adalah .kelainan pada kulit dan rambut kepala, alis, dan bulu mata.

b.      Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh spesies dermatofita dari genera : Trichophyton dan Microsporum, misalnya T.violaceum, T.gourvilii, T.mentagrophytes, T.tonsurans, M.audonii, M.canis, M.ferrugineum.




c.      Manifestasi Klinis

1.      “Grey pacth ringworm”
       Merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus Microsporum dan ditemukan pada anak-anak. Penyakit ini biasanya dimulai dengan timbulnya papula merah kecil sekitar folikel rambut. Papula ini kemudian melebar dan membentuk bercak pucat karena adanya sisik. Penderita mengeluh gatal, warna rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat lagi. Rambut menjadi mudah patah, dan juga mudah terlepas dari akarnya. Pada daerah yang terserang oleh jamur terbentuk alopesia setempat dan terlihat sebagai “grey pacth”.

2.      “Kerion”
       Merupakan tinea kapitis yang disertai dengan reaksi peradangan yang hebat. Lesi berupa pembengkakan menyerupai sarang lebah, dengan serbukan sel radang disekitarnya. Kelainan ini menimbulkan jaringan parut yang menetap. Biasanya disebabkan jamur zoofilik dan geofilik.

3.      “Black dot ringworm”
       Adalah tinea kapiti dengan gambaran klinis berupa terbentuknya titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut yang terinfeksi tepat di muara folikel. Ujung rambut yang patah dan penuh spora terlihat sebagai titik hitam. Biasanya disebabkan Trichophyton.

       Yang beresiko tinggi adalah sosioekonomi rendah. Penyakit ini menular, meskipun cara penularannya masih diperdebatkan. Anak-anak sering tertular dari temannya dan cara penularan dapat juga terjadi pada satu keluaga. Penyebab dapat diisolasi dari sisir, sikat, kursi, topi, dan alat-alat pencukur rambut. Mula-mula jamur tersebut mengadakan kolonisasi pada permukaan kulit lalu terjadi reaksi peradangan bergantung pada hospes, genera/spesies jamur penyebab dan lokasi lesi. Organisme tersebut bertahan bertahun-tahun pada tubuh pasien, sehingga orang tersebut menjadi karier. Ketegangan atau trauma dapat menimbulkan eksaserbasi.

d.      Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan lokalisasinya, serta pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskop langsung dengan larutan KOH 10-20% untuk melihat hifa atau spora jamur.

e.      Prognosis

Infeksi jamur yang ringan dapat sembuh spontan. Reaksi peradangan yang hebat lebih mudah sembuh terutama yang disebabkan spesies zoofilik. Infeksi ektotriks kadang-kadang dapat sembuh tanpa pengobatan. Infeksi endotriks dapat berjalan kronis dan berlangsung sampai dewasa.

f.       Penatalaksanaan

1.      Berikan obat topical berupa sampo atau,selenium sulfida, sampo providone iodine atau sampo yang mengandung derivate azol
       Rasional : untuk mencegah penyebaran spora.
2.      Pengobatan sistemik dengan griseofulvin microsize dengan dosis yang direkomendasikan. Lamanya pemberian 6-8 minggu
3.      Dalam keadaan tertetu perlu dipertimbangkan pemberian kortikosteroid oral Rasional : untuk menghindari reaksi ‘id’ dan mengurangi peradangan.

g.      Pengobatan

Pengobatan  pada anak biasanya diberikan per oral dengan griseofulvin 10-25 mg/kg BB/hari selama 6 minggu. Dosis pada orang dewasa adalah 500 mg per hari selama 6 minggu. Griseofulvin “fine particle” diminum bersama minuman yang mengandung lemak, mislanya dengan susu. Penggunaan antijamur topika. Dapat mengurangi penularan pada orang yang ada disekitarnya. Selain antijamur, pada bentuk kerion, kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek, misalnya prednison 20 mg sehari selama 5 hari dengan pertimbangan bahwa obat tersebut dapat mempercepat resolusi dan menghindarkan terjadinya reaksi id.

v  Tinea korporis

merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) di daerah muka, badan, lengan , dan glutea.

I.       Tinea Favosa

a.      Definisi

Tinea Favosa adalah infeksi jamur kronis, terutama oleh T.schoenleini, T.violaceum, dan M.gypseum. Penyakit ini merupakan bentuk lain dari tinea kapitis, yang ditandai oleh skutula berwarna kekuningan dan bau seperti tikus pada kulit kepala. Biasanya, lesinya menjadi sikatrik alopesia permanen. Kadang, kulit halus dan kuku dapat terkena.

b.      Manifestasi Klinis

Kemerahan pada kulit dan terkenanya folikel rambut tanpa kerontokan, hingga skutula dan kerontokan rambut, serta lesi menjadi lebih merah dan lebih luas. Setelah itu, terjadi kerontokan rambut luas, kulit mengalami atrofi, dan sembuh dengan jaringan parut permanen.

c.      Diagnosis

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis langsung, dengan menemukan miselium, “air bubbles” yang bentuk nya tidak teratur. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood tampak fluoresensi hijau pudar (“dull green”).

d.      Terapi

Prinsip pengobatan tinea favosa sama dengan pengobatan tinea kapitis. Untuk menghilangkan skutula dan debris, hygiene harus dijaga dengan baik.

II.      Tinea Imbrikata

a.      Definisi

Tinea Imbrikata adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita yang memberikan gambaran khas berupa kulit bersisik dengan sisik yang melingkar-lingkar dan terasa gatal.

b.      Etiologi

Penyakit ini disebabkan jamur dermatofita T.concentrium.

c.      Gambaran Klinis

Penyakit ini dapat menyerang seluruh permukaan kulit halus, sehingga sering digolongkan dalam tinea korporis. Lesi bermula sebagai makula eritematosa yang gatal, kemudian timbul skuama yang agak tebal dan terletak konsentris dengan susunan seperti genting. Lesi makin lama makin melebar tanpa meninggalkan penyembuhan dibagian tengah.

d.      Diagnosis banding

Diagnosis banding adalah eritroderma dan pemfigus foliaseus.

e.      Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang sangat khas berupa lesi kosentris.

f.       Pengobatan

Pengobatan sistemik : griseofulvin dengan dosis 500 mg sehari selama 4 minggu. Sering terjadi kambuh setelah pengobatan, sehingga memerlukan pengobatan ulang yang lebih lama.
Obat sistemik yang lain adalah ketokonazol 200 mg sehari, itrakonazol 100 mg sehari, dan terbinafin 250 mg sehari selama 4 minggu. Pengobatan topical tidak begitu efektif karena daerah yang terserang luas. Dapat diberikan preparat yang mengandung keratolitik kuat dan antimikotik, misalnya salep Whitfield, Castellani paint, atau campuran salisilat 5 % dan sulfur presipitatum 5%, serta obat-obat antimikotik berspektrum luas.

v  Tinea Kruris

a.      Definisi
*         Tinea kruris adalah penyakit infeksi jamur dermatofita di daerah liptan paha, genitalia, dan sekitar anus, yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah.
*         Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipatan paha, daerah perineum, dan sekitar anus.
                                

b.      Etiologi

Penyebab yang tersering yaitu T.rubrum, T.mentagrophytes, atau E.floccosum.

c.      Manifestasi klinis

Kelainan ini dapap bersifat akut atau menahun, bahkan seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural, atau meluas ke sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh lain.
Lesi umumnya bilateral namun tidak selalu simetris. Biasanya disertai rasa gatal dan kadang-kadang rasa panas. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengah. Pda bentuk kronis, lesi kulit hanya berupa bercak hiperpigmentasi denagn sedikit skuama. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan.

d.      Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan pada tinea kruris kurang lebih sama dengan prinsip pengobatan tinea korporis.

1.      Obat topikal’
       Merupakan pilihan utama. Seperti pada pengobatan tinea korporis, obat-obat klasik, derivat imidazol, dan derivat alilamin dapat digunakan dengan cara pengobatan dan pengobatan yang kurang lebih sama.
2.      Obat sistemik
       Pengobatan sistemik hanya diberikan atas indikasi tertentu misalnya lesi yang luas atau recalcitrant karena pemakaian obat topikal saja sudah cukup efektif. Obat yang dipakai antara lain griseofulvin, ketokonazol, itrakonazol, flukonazol, serta terbinafin.

v  Tinea Manus Et Pedis

a.      Definisi

*         Tinea manus et pedis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita di daerah kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki, serta daerah interdigital.
*         Tinea manus et pedis adalah infeksi deformitas pada kaki, terutama di sela jari dan telapak kaki terutama yang memakai kaus dan sepatu yang tetutup. Keadaan lembab dan panas merangsang pertumbuhan jamur. Tinea manum adalah dermatofitosit. Semua bentuk di kaki dapat terjadi pada tangan.
                                   
b.      Etiologi

Penyebab tersering adalah T.rubrum, T.mentagrophytes, E.floccosum.

c.      Manifestasi Klinis

1.      Bentuk intertriginosa
       Manifestasi klinisnya berupa maserasi, deskuamasi, dan erosi pada sela jari. Tampak warna keputihan basah dapat terjadi fisura yang terasa nyeri bila tersentuh. Infeksi sekunder dapat menyertai  fisura tersebut dan lesi dapat ,eluas sampai kuku dan kulit jari.  Pada kaki, lesi sering mulai dari sela jari III, IV, dan V. bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga terjadi limfangitis, limfadenitis, selulitis, dan erysipelas yang disertai gejala-gejala umum.
2.      Bentuk vesikuler akut
       Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikula-vesikula dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi yang sering adalah telapak kaki bagian tengah dan kemudian melebar serta vesikulanya memecah. Infeksi sekunder dapat memperburuk keadaan ini.
3.      Bentuk moccasin foot
       Pada bentuk ini seluruh kaki dari telapak, tepi sampai punggung kaki, terlihat kulit menebal dan beskuama. Eritem biasanya ringan terutama terlihat pada tepi lesi.


d.      Penatalaksanaan

-             Kaus kaki yang dipakai dipilih kaus yang memungkinkan ventilasi dan diganti setiap hari
-             Kaki harus bersih
-             Hindari memakai sepatu tertutup, sempit, sepatu olahraga  dan sepatu plastic sepanjang hari
-             Kaki dan sela-sela jari dijaga agar selalu kering
-             Sesudah mandi dapat diberikan bedak atau tanpa antijamur

1.      Obat topikal
Bila lesi basah, maka sebaiknya direndam dalam larutan kalium permanganat 1/5.000 atau larutan asam asetat 0,25% selama 15-30 menit, 2-4 kali sehari. Atap vesikel dan bula dipecahkan untuk mengurangi keluhan. Bila peradangan hebat dikombinasikan dengan obat antibiotic sistemik.
Kalau peradangan sudah berkurang, diberikan obat topikal antijamur berspektrum luas antara lain, haloprogin, klotrimazol, mikonazol, bifonazol, atau ketokonazol.
Pada tinea pedis tipe papuloskuamosa dengan hyperkeratosis, obat anti jamur topikal sukar menembus kulit.
2.      Obat sistemik
       Biasanya tidak digunakan. Namun, bila digunakan harus dikombinasi dengan obat-obat antijamur topikal. Obat-obat sistemik tersebut antara lain griseofulvin, ketokonazol, itrakonazol, dan terbinafin.

e.      Pengobatan

Pengobatan pada umumnya cukup topikal saja dengan obat-obat antijamur untuk bentuk interdigital dan vesikuler. Lama nya pengobatan 4-6 minggu. Bentuk moccasin foot yang kronik memerlukan pengobatan yang lebih lama, apalagi bila disertai dengan tinea unguium, pengobatan diberikan paling sedikit 6 minggu dan kadang-kadang memerlukan antijamur peroral, misalnya griseofulvin, intrakonazol, atau terbenafin. Bentuk klinis akut yang disertai selulitis memerlukan pengobatan antibiotic, misalnya penisilin prokain, penisilin V, fluklosasilin, eritromisin atau spiramisin dengan dosis yang adekuat.

v  Tinea Unguium

a.      Definisi

*         Tinea Unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita.
*         Tinea Unguium adalah kelainan lempeng kuku yang disebabkan oleh invasi/ infeksi jamur dermatofit.


b.      Etiologi

Penyebab penyakit yang tersering adalah T.mentagrophytes, T.rubrum.

c.      Faktor predisposisi

Beberapa hal yang merupakan factor predisposisi terjadinya tinea unguium adalah trauma, hiperhidrosis palmar dan plantar, keadaan imunosupresi, gangguan sirkulasi, distrofi lempeng kuku oleh berbagai sebab, dan salah posisi perifer kuku ke lipat kuku dan hiponikium. Biasanya pasien tine unguium mempunyai dermatofitosis di tempat lain yang sudah sembuh atau yang belum. Kuku kakia sering diserang daripada kuku tangan.





d.      Manifestasi klinis
       
1.      bentuk subungal distalis
       Dimulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh. Kalau proses berjalan terus, maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihathanya kuku yang rapuh yang menyerupai kapur.
2.      Benruk lateralis
       Penyakit ini mulai dengan perubahan bagian luar alur lateral kuku yang menjadi kuning. Lesi meluas ke bagian distal atau proksimal kuku. Kemudain terjadi paronikia ( peradangan jaringan sekitar kuku)
3.      leukonikia trikofita/mikotika
       merupakan leukonikia atau keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur.
4.      bentuk subungal proksimalis
       bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang kuku dan membentuk gambaran klinis yang jhas, yaitu terlihat kuku di bagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Biasanya penderita tinea inguinum mempunyai dermatofitosis di tempat lain yang sudah sembuh atau yang belum. Kuku kaki lebih sering daripada kuku tangan.
5.      Bentuk distrofi kuku total
       Bentuk ini merupakan keadaan lanjut dari bentuk klinis di atas. Pada bentuk ini kerusakan terjadi pada seluruh lempeng kuku.

e.      Penatalaksanaan

Pengobatan dapat secara topikal maupun sistemik, tetapi umumnya pengobatan topikal tidak efektif. Pengobatan topikal dapat diberikan bila hanya 1-2 kuku yang terkena dan tidak sampai menyerang matriks kuku.

Beberapa cara pengobatan topikal dan dapat digunakan:

1.      Cara klasik menggunakan obat antidermatofit topikal dan sedapat mungkin menghilangkan bagian yang rusak misalnya dengan pengikiran atau kuretase kuku. Obat antidermatofit yang dapat dipakai antara lain golongan azol, haloprogin, siklopirosilamin, dan alilamin. Solusio glutaraldehid 10% dan kirim tianbendazol 10% dengan bebat oklusifjuga dapat digunakan.
2.      Avulsi( pengangkatan) kuku yang diikuti pemberian obat antidermatofit topikal. Avulsi kuku dapat dilakukan dengan bedah skapel atau bedah kimia, misalnya dengan menggunakan urea. Sediaan kombinasi urea 40% dan bifonazol yang terdapat di beberapa Negara juga dapat dipakai untuk cara ini.
3.      Obat topikal antara lain cat kuku berisi siklopiroksolamin 5% dan cat kuku berisi amorofilin.
Untuk pengobatan sistemik dapat dipakai :
1.      Griseofulvin 0,5-1 gram/hari. Untuk infeksi kuku tangan dibutuhkan pengobatan rata-rata 4-6 bulan, sedangkan untuk kuku kaki 8-18 bulan. Tetapi keberhasilan pengobatan ini rendah dan rekurensi tinggi.
2.      Itrakonazol. Semula dianjurkan penggunaan dosis 200 mg per hari selama 3 bulan pada infeksi kuku kaki. Akhir-akhir ini penggunaan terapi pulse 400 mg per hari selama seminggu  tiap bulan member hasil baik dalam 3 bulan.
3.      Terbinafin.dosis 250 mg per hari selama 1,5 bulan pada infeksi kuku tangan dan selama 3 bulan pada kuku.

4.      Pemeriksaan penunjang

Bahan pemeriksaan berupa kerokan kulit berambut halus ( glabrous skin), kulit berrambut, dan kuku.
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang , maupun spora berderet (artospora) pada kelainan kulit yang lama dan/ atau sudah diobati.  Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun di luar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut ( endotriks). Kadang-kadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut .

5.      Asuhan keperawatan

v  Pengkajian keperawatan
1.     Biodata
2.     Keluhan utama
3.     Riwayat penyakit sekarang
4.     Riwayat penyakit dahulu
5.     Riwayat penyakit keluarga
6.     Riwayat psikososial
7.     Kebiasaan sehari-hari
8.     Pemeriksaan fisik

v  Diagnosa keperawatan

a.      gangguan konsep diri (body image) b.d perubahan penampilan fisik
b.      kerusakan integritas kulit b.d lesi akibat efek dari garuk
c.      gangguan pola tidur / istirahat b.d gatal/pruritus

v  Intervensi Keperawatan

a.      gangguan konsep diri (body image) b.d perubahan penampilan fisik
       hasil yang diharapkan

û   klien menilai keadaan dirinya terhadap hal-hal yang realistik tanpa menyimpang
û   dapat menyatakan dan menunjukkan peningkatan konsep diri
û   dapat menunjukkan adaptasi yang baik dan menguasai kemampuan diri.
rencana keperawatan:
û   bina hubungan saling percaya antara perawat-klien
û   dorong klien untuk menyatakan perasannya, terutama cara ia merasakan sesuatu, berpikir, atau memandang dirinya sendiri.
û   dorong klien untuk mengajukan pertanyaan mengenai masalah kesehatan, pengobatan, dan kemajuan pengobatan dankemungkinan hasilnya.
û   beri informasi yang dapat dipercaya dan menguatkan informasi yang telah diberikan.
û   jernihkan kesalahan persepsi individu tentang dirinya, mengenai perawatan dirinya.
û   hindari kata-kata yang mengecam dan memojokkan klien.
û   lindungi privasi dan jamin lingkungan yang kondusif.
û   kaji kembali tanda dan gejala gangguan harga diri, gangguan citra tubuh, dan perubahan penampilan peran.
û   Beri penjelasan dan penyuluhan tentang konsep diri yang positif.




b.      kerusakan integritas kulit b.d lesi akibat efek dari garukan

hasil yang diharapkan
û  Area terbebas dari infeksi lanjut.
û  Kulit bersih, kering, dan lembab

rencana keperawatan:
û  Kaji keadaan kulit
û  Kaji perubahan warna kulit
û  Pertahankan agar area luka tetap bersih dan kering
û  Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
û  Anjurkan klien untuk memakai pakaian ( baju, celana, dalam, kaus kaki) yang mudah menyerap keringat.

c.      gangguan pola tidur / istirahat b.d gatal/pruritus

hasil yang diharapkan:
û   klien dapat menjelaskan faktor-faktor penghambat atau pencegah tidur
û   klien dapat mengidentifikasi tehnik untuk mempermudah tidur.
rencana keperawatan
û   identifikasi faktor-faktor penyebab tidak bisa tidur  dan penunjang keberhasilan tidur.
û   beri penjelasan pada klien dan keluarga penyebab gangguan pola tidur
û   atur prosedur tindakan medis atau keperawatan untuk member sesedikit mungkin gangguan selama periode tidur (mis. ketika individu bangun untuk makan obat, pada saat pengukuran tanda-tanda vital)
û   hindari prosedur yang tidak penting selama waktu penting.
û   anjurkan klien mandi air hangat sebelum tidur dan mengoleskan obat salep (sesuai terapi) pada daerah lesi.
û   kolaborasikan dengan tim medis dalam pemberian antihistamin/antigatal.






BAB III
PENUTUP


A.     Simpulan

Herpes merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh virus. Terdiri dari herpes simpleks yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I dan II , dan herpes zoster yang disebabkan oleh virus varisela zoster.
Tinea merupakan kulit yang disebabkan oleh jamur golongan Microsporum, Trichophyton, Epidermophyton. Berdasarkan lokasinya tinea dibagi menjadi tine kapitis, korporis, kruris, manus et pedis, dan unguium.
B.     Saran

Baik herpes maupun tinea, sama-sama merupakan kelainan kulit yang banyak membawa dampak tidak baik pada fisik dan psikologis pasien , oleh karena itu,  sebagai perawat harus bisa memberikan askep yang tepat sehingga dampak yang timbul bisa diatasi.


  
DAFTAR PUSTAKA

û  Djuanda, Adhi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Cet. 2, ed. 3. Jakarta : FKUI.
û  Harahap, Marwali. 2000. Ilmu penyakit Kulit, Cet. 1. Jakarta : Hipokrates.
û  Hartanto, Hurawati.2009. Kamus Saku Mosby. Jakarta. EGC
û  Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. III. Jil. 2. Jakarta : Media Aesculapius.
û  Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Proses Penyakit II. Ed. 6, Cet. 1 : Jil. II Jakarta: EGC.
û  Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Asuhan Keperawatan  Klien Gangguan Sistem Integumen. Jakarta: EGC
û  Smeltzer, Suzanne C. 2002. Bukur Ajar Keperawatan Medikal Bedah III, ed. 8, Cet 2, jil. III. Jakarta : EGC.

2 komentar: