PAIAN TUA PAKPAHAN
KLO MAU YANG LAINNYA LIAT AJA DI "ARSIP BLOG

Minggu, 17 Oktober 2010

ASKEP GANGGUAN KELENJAR HIPOFISE


ASKEP GANGGUAN KELENJAR HIPOFISE




oleh
STIKES BORROMEUS



PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS
2010
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang
Kelenjar pituitari (hipofisis) berukuran kurang lebih 1 cm dengan berat 500 mg. Terletak di sella tursica dari tulang sphenoid. Sella tursica dekat dengan chiasma opticum. Kelenjar hipofise sebenarnya terdiri dari dua kelenjar, pituitari anterior yang berukuran lebih besar terletak di anterior atau disebut adenohipofise dan pituitari posterior atau neurohipofise. Pituitari anterior biasa juga disebut sebagai Master gland, karena pengaruhnya pada kelenjar lain dan pada seluruh tubuh. Pengaruh ini dilaksanakan oleh 6 hormon yang diproduksi oleh sel yang berbeda- beda yang terdapat di lobus anterior hipofise, dan oleh dua hormon yang diproduksi oleh lobus posterior hipofise.

I.2 Tujuan
Ø     Tujuan umum
 Diharapkan dengan adanya makalah ini mahasiswa mahasiswi dapat memahami serta menerapkan dalam kehidupan sehari – hari. 
Ø    Tujuan khusus
Mahasiswa progam study D3 keperawatan STIkes St. Borromeus mampu memahami apa yang dimaksud dengan definisi, anatomi fisiologi, patofisiologi, asuhan keperawatan, diagnosa keperawatan, rencana tindakan keperawatan.

I.3 Metode Penulisan
Metode yang kita gunakan dalam menyusunan makalah ini adalah dengan study pustaka dan konsultasi pada dosen pembimbing. Kita juga mencari informasi melalui  media webside untuk mendukung sumber makalah yang kita susun

I.4 Sistematika penuliasan.
Makalah ini terdiri dari 3 bab: Bab  I Pendahuluan antara lain: latar belakang, tujuan, metode, dan sistematika penulisan ; Bab II Tinjauan teoretis yang berisikan anatomi fisiologi, disfungsi kelenjar hipofise, asuhan keperawatan yang terdiri dari : Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Rencana tindakan keperawatan, Tindakan keperawatan, dan Evaluasi.















BAB II
Tinjauan Teoretis

A.   Anatomi dan Fisiologi

a.      Kelenjar Hipofise
            Kelenjar pituitari(hipofisis) berukuran kurang lebih 1 cm dengan berat 500 mg. Terletak di sella tursica dari tulang sphenoid. Sella tursica dekat dengan chiasma opticum. Kelenjar hipofise sebenarnya terdiri dari dua kelenjar, pituitari anterior yang berukuran lebih besar terletak di anterior atau disebut adenohipofise dan pituitari posterior atau neurohipofise. Pituitari anterior biasa juga disebut sebagai Master gland, karena pengaruhnya pada kelenjar lain dan pada seluruh tubuh. Pengaruh ini dilaksanakan oleh 6 hormon yang diproduksi oleh sel yang berbeda- beda yang terdapat di lobus anterior hipofise, dan oleh dua hormon yang diproduksi oleh lobus posterior hipofise.
Bagian anterior kelenjar hipofisis mempunyai banyak fungsi dan karena memiliki kemampuan dalam mengatur fungsi-fungsi dari kelenjar-kelenjar endokrin lain, maka bagian anterior kelenjar hipofisis ini dikenal juga dengan nama kelenjar utama (master of gland). Sel-sel hipofisis anterior merupakan sel-sel yang khusus menyekresikan hormon-hormon tertentu. Tujuh macam hormon dan peranan metabolik  fisiologinya telah diketahui dengan baik. Hormon- hormon terssebut adalah adrenocortocotropic hormone (ACTH), melanocyte-stimulating hormone (MSH), thyroid-stimulating hormone (thyrotropin, TSH), follicle-stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone(LH), growth hormone (GH), dan prolactin (PRL). Beberapa hormon ini (ACTH, MSH, GH, dan prolaktin) merupakan polipeptida, sedangkan hormon yang lainnya (TSH, FSH, dan LH) merupakan glikoprotein. Penelitian morfologis menemukan bahwa setiap hormon disintesis oleh satu jenis sel tertentu. Dapat dikatakan bahwa bagian anterior kelenjar hipofisis sesungguhnya merupakan gabungan dari beberapa kelenjar yang berdiri sendiri-sendiri, yang semuanya berada di bawah pengawasan hipotalamus.
Lobus posterior kelenjar hipofisis atau neurohipofisis terutama berfungsi untuk mengatur keseimabangan cairan. Vasopresin atau hormon antidiuretik (ADH) terutama disintesis dalam nukleus supraoptik dan pareventrikular hipotalamus dan disimpan dalam neurohipofisis.   
        Thyroid stimulating hormon (TSH), adrenocorticotropic hormon (ACTH), dan gonadotropic hormon disebut tropic hormon karena hormon- hormon ini menstimulasi hormon lain untuk mensekresi hormon yang aktif yang mempengaruhi perubahan sel- sel tubuh tertentu. Hormon hipofise lain melaksanakan penggaruhnya pada sel tubuh secara langsung ( non tropik ).


b. Hubungan antar hipotalamus dan kelenjar hipofise.
        Hipotalamus terdiri dari sebuah nuklei dan berperan sebagai suatu penghubung yang penting antara mekanisme pengaturan neurologis dan hormonal. Hipotalamus melaksanakan pengontrolan pada kelenjar hipofise anterior dan terhadap kelenjar lain dan sel-sel tubuh. Hipotalamus (terletak pada jaringan sekitar ventrikel ketiga) dan lobus hipofise anterior dihubungkan oleh sistem perdarahan portal hipotalamus-hipofise (hipotalamus-hipofise portal blood system) dengan demikian neurosekresi releasing factor (RF) dan inhibiting factor (IF) dilakukan dari hipotalamus ke hipofise. Diduga bahwa masing-masing hormon hipofise memiliki RF dan IF yang menstimulir atau menghambat pelepasan hormon-hormon tersebut. Dengan diketahuinya struktur kimia dari suatu inhibitory dan releasing factor , istilah faktor diubah menjadi hormon.
        Hipotalamus juga mengendalikan kelenjar hipofise posterior yang berhubungan dengannya secara struktural. ADH dan oksitosin sebenarnya diproduksi di hipotalamus dalam nuklei paraventrikular dan supraoptik dan dibawa oleh neuron melalui transport aksonal melalui cabang-cabang terminal yang terletak di lobus posterior hipofise. Disana mereka disimpan dan kemudian dilepaskan.

Hormon
Fungsi
Hipofise anterior

Growth hormon (GH)
Target organ : seluruh tubuh, kemungkinan bekerja pada kebanyakan jaringan melalui somatomedin. Berhubungan dengan pertumbuhan sel, tulang, dan jaringan lunak.
Meningkatkan mitosis
Mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.
Meningkatkan glukosa darah dengan menurunkan penggunaan glukosa, antagonis insulin.
Meningkatkan sintesa protein.
Meningkatkan kadar asam lemak bebas, lipolisis, dan pembentukan keton.
Meningkatkan retensi elektrolit dan cairan ekstraseluler.

Prolaktin (PRL)
Target organ : payudara dan gonad.
Perlu bagi perkembangan payudara dan laktasi.
Pengatur fungsi reproduksi pada pria dan wanita.
Thyroid Stimulating Hormon (TSH)
Target organ : tiroid
Perlu untuk pertumbuhan dan fungsi tiroid.
Adrenokorticoid-stimulating hormon (ACTH; Corticotropin)
Organ target: korteks  adrenal
Perlu untuk pertumbuhan dan mempertahankan ukuran kortek adrenal. Sedikit berperan dalam pelepasan mineralokortikoid (aldosteron).
Mengontrol pelepeasan glukokorticoid (kortisel) dan androgen adrenal.
Gonadotropin

Folikel stimulating hormon (FSH)
Luteinizing hormon (LH)
Target organ : gonad
Menstimulasi gametogenesis dan produksi seks steroid pada pria dan wanita.
Hipofise Posterior

Antidiuretic hormone (ADH)
Merubah membran tubulus ginjal untuk meningkatkan absorpsi air; merangsang otot polos usus, dan pembuluh darah.
Oxitocin
Merangsang kontraksi uterus dan pengeluaran air susu.

c.       Peran Fisiologis Dan Metabolik Hormon-Hormon Hipofisis Anterior
GH, prolaktin, dan MSH mempunyai pengaruh metabolik langsung pada jaringan sasaran sebaliknya ACTH, TSH, FSH, dan LH fungsi utamanya adalah mengatur sekresi kelenjar-kelanjar endokrin lainnya, karena itu dikenal sebagai hormon-hormon tropik.
GH atau somatotropin mempunyai pengaruh metabolik utama,baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Pada anak-anak, hormon ini diperlukan untuk pertumbuhan somatik. Pada orang dewasa, hormon ini berfungsi mempertahankan ukuran orang dewasa normal dan juga berperan dalam pengaturan sintesis protein dan pembuangan zat makanan. GH memproduksi faktor pertumbuhan-1 mirip insulin (IGF-1) yang merantarai efek perangsang-pertumbuhan. Tanpa IGF-1, GH tidak dapat merangsang pertumbuhan. Sekresi GH diatur oleh growth hormone-releasing hormone (GHRH) dari hipotalamus dan oleh somatostatin, suatu hormon penghambat. Pelepasan GH dirangsang oleh hipoglikemia dan oleh asam amino seperti arginin, ditambah juga dengan stress dan latihan berat.
MSH merupakan suatu unsur pokok dari proopiomelanokortin. Hormon ini meningkatkan pigmentasi kulit dengan merangsang dispersi granula-granula melanin dalam melanosit. Sekresi MSH diatur oleh corticotropin-releasing hormone (CRH) dan dihambat oleh peningkatan kadar kortisol. Defisiensi sekresi kortisol dapat merangsang pelepasan MSH, sedangkan kadar kortisol yang tinggi menekan sekresi hormon ini.
Prolaktin merupakan salah satu kelompok hormon yang dibutuhkan untuk perkembangan payudara dan sekresi susu. Pelepasan prolaktin berada di bawah pengaruh penghambatan tonik oleh hipotalamus melalui dopamin yang disekresi oleh sistem neuron dopaminergik tuberohipofisel. Jika faktor-faktor penghambat ini tidak ada maka sekresi prolaktin akan meningkat dan dapat terjadi laktasi. Thyrotropin-releasing hormone (TRH) merangsang sekresi prolaktin.
ACTH merangsang pertumbuhan dan fungsi korteks adrenal dan merupakan suatu faktor yang sangat penting pada pengaturan produksi dan pelepasan kortisol. Secara tunggal, ACTH tampaknya tidak mempunyai efek ekstraadrenal yang berarti CRH dan arginine vasopressin (AVP) bekerja secara sinergis untuk merangsang sekresi ACTH.
TSH merangsang pertumbuhan dan fungsi kelenjar tiroid. TSH ini menyebabkan pelepasan tiroksin (T4) dan tryodo tironin (T3), selanjutnya hormon-hormon ini akan mengatur sekresi TSH. TRH merangsang sekresi TSH.
FSH dan LH dikenal juga sebagai gonadotropin. Pada laki-laki, FSH mempertahankan dan merangsang spermatogenesis, sedangakan LH merangsang sekresi testoteron oleh sel-sel Leydig atau sel-sel interstisial testis. FSH dan LH ini akan disekresi secara kontinu atau secara tonik pada laki-laki. Sebaliknya, pada perempuan FSH merangsang perkembangan folikel dan sekresi estrogen oleh sel-sel folikel. LH menyebabkan ovulasi dan mempertahankan serta merangsang sekresi progesteron oleh korpus luteum yang berkembang dari folikel sesudah ovulasi. Pelepasan FSH dan LH pada perempuan bersifat siklik, sedemikian pula sehingga kadar kedua hormon tersebut akan melonjak pada pertengahan siklus dan kemudian sedikit demi sedikit menurun pada akhir siklus, dan diikuti oleh menstruasi. Sekresi FSH dan LH diatur oleh sekresi (amplitudo dan frekuensi) gonadotropin-releasing hormone (GnRH) yang bersifat pulsatil.
Konsekuensi klinis defisiensi pelepasan ACTH dan TSH masing-masing berupa insufisiensi adrenal dan hipotiroidisme. Tidak adanya pelepasan gonadotropin mengakibatkan hipotiroidisme. Sebaliknya, sekresi ACTH yang berlebihan akan mengakibatkan hiperfungsi korteks adrenal atau sindrom Cushing. Sindrom kelebihan TSH atau pelepasan gonadotropin jarang ditemukan.
Diagnosis klinis gangguan hipofisis membutuhkan penegasan biokimia melalui uji khusus yang memperlihatkan fungsi hipofisis abnormal yang merupakan karakteristik keadaan yang dicurigai. Hormon hipofisis yang sudah diterangkan yaitu, ACTH, MSH, TSH, FSH, LH, GH, dan prolaktin semuanya dapat dihitung dalam serum atau plasma.

d.      Disfungsi kelenjar hipofise
            Penyakit hipofise adalah penyakit yang tidak umum terjadi, namun dapat timbul sebagai kondisi hiperfungsi hipofise, hipofungsi hipofise, dan lesi/ massa setempat yang menyebabkan tekanan pada khiasma optikus atau bagian basal otak.
1.   Hiperfungsi kelenjar hipofise
Sering disebut juga hiperpituitarisme yaitu suatu kondisi patologis yang terjadi akibat tumor atau hiperplasi hipofise sehingga menyebabkan peningkatan sekresi salah satu hormon hipofise atau lebih.

PATOFISIOLOGI

Hiperfungsi hipofise dapat terjadi dalam beberapa bentuk bergantung pada sel mana dari kelima sel-sel hipofise yang mengalami hiperfungsi. Kelenjar biasanya mengalami pembesaran, disebut adenoma makroskopik bila diameternya lebih dari 10 mm, yang terdiri atas satu jenis sel atau beberapa jenis sel. Kebanyakan adalah tumor yang terdiri atas sel-sel laktotropik (juga dikenal sebagai prolaktinomas). Tumor yang kurang umum terjadi adalah adenoma somatotropik. Tumor yang terdiri atas sel- sel pensekresi TSH-, LH-, atau FSH- sangat jarang terjadi.
            Prolaktinoma (adenoma laktotropin) biasanya adalah tumor kecil, jinak, yang terdiri atas sel-sel pensekresi prolaktin. Gejala yang khas pada kondisi ini sangat jelas pada wanita usia reproduktif dan dimana terjadi (tidak menstruasi, yang bersifat primer dan sekunder), galaktorea (sekresi ASI spontan yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan), dan infertilitas.
            Adenoma somatotropik terdiri atas sel-sel yang mensekresi hormon pertumbuhan. Gejala klinik hipersekresi hormon pertumbuhan bergantung pada usia klien saat terjadi kondisi ini. Misalnya saja pada klien pre pubertas, dimana lempeng epifise tulang panjang belum menutup, mengakibatkan pertumbuhan tulang-tulang memanjanng sehingga mengakibatkan gigantisme. Pada klien post pubertas, adenoma somatotropik mengakibatkan akromegali, yang ditandai dengan pembesaran ekstermitas (jari, tangan, kaki), lidah, rahang, dan hidung. Organ-organ dalam juga turut membesar (mis : kardiomegali).
            Kelebihan hormon pertumbuhan menyebabkan gangguan metabolik, seperti hiperglikemia dan hiperkalsemia. Pengangkatan tumor dengan pembedahan merupakan pengobatan pilihan. Gejala metabolik dengan tindakan ini dapat mengalami perbaikan, namun perubahan tulang tidak mengalami regresi.
            Adenoma kortikotropik terdiri atas sel-sel pensekresi ACTH. Kebanyakan tumor ini adalah mikroadenoma dan secara klinis dikenal dengan tanda khas penyakit cushing’s.

Ø  Gigantisme dan Akromegali   
Gigantisme dan akromegali disebabkan oleh sekresi GH yang berlebihan. Keadaan ini dapat diakibatkan tumor hipofisis yang menyekresi GH atau karena kelainan hipotalamus yang mengarah pada pelepasan GH secara berlebihan. Pada beberapa pasien dapat timbul akromegali sebagai respons terhadap neoplasia yang menyekresi GHRA ektopik. Pada pasien ini terdapat hiperplasia hipofisis somatotrop dan hipersekresi GH.
Bila kelebihan GH terjadi selama masa anak-anak dan remaja, maka pertumbuhan longitudinal pasien sangat cepat, dan pasien akan menjadi seorang raksasa. Setelah pertumbuhan somatis selesai, hipersekresi GH tidak akan menimbulkan GIGANTISME, tetapi menyebabkan penebalan tulang-tulang dan jaringan lunak. Keadaan ini disebut akromegali, dan penderita akromegali memperlihatkan pembesaran tangan dan kaki.
Penderita mungkin membutuhkan ukuran sarung tangan yang lebih besar. Kaki juga menjadi lebih besar dan lebar, dan penderita menceritakan mereka harus mengubah ukuran sepatunya. Pembesaran ini biasanya disebabkan oleh pertumbuhan dan penebalan tulang dan peningkatan pertumbuhan jaringan lunak.
Selain itu, perubahan bentuk raut wajah dapat membantu diagnosis pada insepeksi. Raut wajah menjadi semakin kasar, sinus paranasalis dan sinus frontalis membesar. Bagian frontal menonjol, tonjolan supraorbital menjadi semakin nyata, dan terjadi deformitas mandibula disertai timbulnya prognatisme (rahang yang menjorok ke depan) dan gigi geligi tidak dapat menggigit. Pembesaran  mandibula menyebabkan gigi-gigi renggang. Lidah juga membesar, sehingga penderita sulit berbicara. Suara menjadi lebih dalam akibat penebalan pita suara.
Deformitas tulang belakang karena pertumbuhan tulang yang berlebihan, mengakibatkan timbulnya nyeri dipunggung dan perubahan fisiologik lengkung tulang belakang. Pemeriksaan radiografik tengkorak pasien akromegali menunjukkan perubahan khas disertai pembesaran sinus paranasalis, penebalan kalvarium, deformitas mandibula ( yang menyerupai bumerang ), dan yang paling penting ialah penebalan dan destruksi sela tursika yang menimbulkan dugaan adanya tumor hipofisis.
Bila akromegali berkaitan dengan tumor hipofisis, maka pasien mungkin mengalami nyeri kepala bitemporal dan gangguan penglihatan disertai hemianopsia bitemporal akibat penyebaran supraselar tumor tersebut, dan penekanan kiasma optikum.
Pasien dengan akromegali memiliki kadar basal GH dan IGF-1yang tinggi dan juga dapat diuji dengan pemberian glukosa oral. Pada subjek yang normal, induksi hiperglikemia dengan glukosa akan menekan kadar GH. Sebaliknya, pada pasien akromegali atau gigantisme kadar GH gagal ditekan.
CT-scan dan MRI pada sela tursika memperlihatkan mikroadenoma hipofisis, serta makroadenoma yang meluas ke luar sela mencakup juga sisterna diatas  sela, dan daerah sekitar sela, atau sinus sfenoid.
Pengobatan akromegali atau gigantisme lebih kompleks. Iridiasi hipofisis, pembadahan mengakibatkan penurunan atau perbaikan penyakit. Pengobatan medis dengan menggunakan octreotide, suatu analog somatostatin, juga tersedia. Octreoide dapat menurunkan supresi kadar GH dan IGF-1, mengecilkan ukuran tumor, dan memperbaiki gambaran klinis.

2.    Hipofungsi kelenjar hipofise
Insufisiensi hipofisis pada umumnya mempengaruhi semua hormon yang secara normal disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Oleh karena itu, manifestasi klinis dari panhipopituitarisme merupakan gabungan pengaruh metabolik akibat berkurangnya sekresi masing-masing hormon hipofisis.
Beberapa proses patologik dapat mengakibatkan insufisiensi hipofisis dengan cara merusak sel-sel hipofisis normal: (1) tumor hipofisis, (2) trombosis vaskular yang mengakibatkan nekrosis kelenjar hipofisis normal, (3) penyakit granulomatosa infiltratif, dan (4) idiopatik atau mungkin penyakit yang  bersifat autoimun.
Sindrom klinis yang diakibatkan oleh panhipopituitarisme pada anak-anak dan orang dewasa berbeda-beda. Pada anak-anak, terjadi gangguan pertumbuhan somatis akibat defisiensi pelepasan GH. Dwarfisme hipofisis (kerdil) merupakan konsekuensi dari defisiensi terssebut. Ketika anak-anak tersebut mencapai pubertas, maka tanda-tanda seksual sekunder dan genitalia eksterna gagal berkembang. Selain itu, sering pula ditemukan berbagai derajat insufisiensi adrenal dan hipotiroidisme; mereka mungkin akan mengalami kesulitan di sekolah dan memperlihatkan perkembangan intelektual yang lamban; kulit biasanya pucat karena tidak adanya MSH.
Kalau hipopituitarisme terjadi pada orang dewasa, kehilangan fungsi hipofisis sering mengikuti kronologis sebagai berikut : defisiensi GH, hipogonadisme, hipotiroidisme dan insufisiensi adrenal. Karena orang dewasa telah menyelesaikan pertumbuhan somatisnya, maka tinggi tubuh pasien dewasa dengan hipopituitarisme adalah normal. Manifestasi defisiensi GH mungkin dinyatakan dengan timbulnya kepekaan yang luar biasa terhadap insulin dan terhadap hipoglikemia puasa. Bersamaan dengan terjadinya hipogonadisme, pria menunjukan penurunan libido, impotensi dan pengurangan  progresif pertumbuhan rambut dan bulu di tubuh, jenggot, dan berkurangnya perkembangan otot. Pada wanita, berhentinya siklus menstruasi atau ammanorea, merupakan tanda awal dari kegagalan hipofisis. Kemudian diikuti oleh atrofi payudara dan genitalia eksterna. Baik laki-laki maupun perempuan menunjukkan berbagai tingkatan hipotiroidisme dan insufisiensi adrenal. Kurangnya MSH akan mengakibatkan kulit pasien ini kelihatan pucat.
Kadang kala, pasien memperlihatkan kegagalan hormon hipofisis saja. Dalam keadaan ini, penyebab defisiensi agaknya terletak pada hipotalmus dan mengenai hormon pelepasan yang bersangkutan.
Pada pasien dengan panhipopituitarisme, tingkat dasar hormon tropik ini rendah, sama dengan tingkat produksi hormon kelenjar target yang dikontrol oleh hormon-hormon tropik ini.
Pasien dengan hipopituitarisme, selain memiliki tingkat hormon basal yang rendah, juga tidak merespons terhadap pemberian hormon perangsang sekresi. Uji fungsi hipofisis kombinasi dapat dilakukan pada pasien ini dengan menyuntikkan (1) insulin untuk menghasilkan hipoglikemia, (2) CRH, (3) TRH, dan (4) GnRH. Hipoglikemia dengan kadar serum glukosa yang kurang dari 40mg/dl, normalnya menyebabkan pelepasan GH, ACTH, dan kortisol; TRH merangsang pelepasan TSH dan prolaktin; sedangkan GnRH merangsang pelepasan FSH dan LH. Pasien dengan panhipopituitarisme gagal untuk merespons empat perangsang sekresi tersebut. Selain studi biokimia, juga disarankan pemeriksaan radiografi kelenjar hipofisis pada pasien yang diperkirakan menderita penyakit hipofisis, karena tumor-tumor hipofisis seringkali menyebabkan gangguan-gangguan ini.
Pengobatan hipopituitarisme mencakup penggantian hormon-hormon yang kurang. GH manusia, hormon yang hanya efektif pada manusia, dihasilkan dari teknik rekombinasi asam deoksiribonukleat (DNA), dapat diguanakan untuk mengobati pasien dengan defisiensi GH dan hanya dapat dikerjakan oleh dokter spesialis. GH manusia jika diberikan pada anak-anak yang menderita dwarfisme hipofisis, dapat menyebabkan peningkatan tinggi badan yang berlebihan. GH manusia rekombinan juga dapat digunakan sebagai hormon pengganti pada pasien dewasa dengan panhipopituitarisme. Hormon hipofisis hanya dapat diberikan dengan cara disuntikan. Sehingga, terapi harian pengganti hormon kelenjar target akibat defisiensi hipofisis untuk jangka waktu yang lama, hanya diberikan sebagai alternatif. Sebagai contoh, insufisiensi adrenal yang disebabkan karena defisiensi sekresi ACTH diobati dengan memberikan hidrokortison oral. Pemberian  tiroksin oral dapat mengobati hipotitoidisme yang diakibatkan defisiensi TSH. Pemberian androgen dan estrogen dapat mengobati defisiensi gonadotropin ,namun pemberian gonadotropin tersebut dapat menginduksi ovulasi. Defisiensi GH membutuhkan injeksi GH setiap hari.
Insufisiensi hipofise menyebabkan hipofungsi organ sekunder. Hipofungsi hipofise jarang terjadi, namun dapat saja terjadi dalam setiap kelompok usia. Kondisi ini dapat mengenai semua sel hipofise (panhipopituitarisme) atau hanya sel-sel tertentu, terbatas pada satu subset sel-sel hipofise anterior (mis: hipogonadisme sekunder terhadap defisiensi sel-sel gonadotropik) atau sel-sel hipofise posterior (mis: diabetes insipidus).

PATOFISIOLOGI
Penyebab hipofungsi hipofise dapat bersifat primer dan sekunder. Primer bila gangguannya terdapat pada kelenjar hipofise itu sendiri, dan sekunder bila gangguan terdapat pada hipotalamus. Penyebab tersebut termasuk diantaranya :
v  Defek perkembangan kongenital, seperti pada dwarfisme pituitari atau hipogonadisme.
v  Tumor yang merusak hipofise (mis: adenoma hipofise nonfungsional) atau merusak hipotalamus (mis: kraniofaringioma atau glioma).
v  Iskemia, seperti pada nekrosis postpartum (sindrom sheehan’s).
Diagnosis insufisiensi hipofise dapat diduga secara klinik namun harus ditegakan melaui uji biokimia yang sesuai, yang akan menunjukan defisiensi hormon.
Panhipopitutarisme.  Pada orang dewasa dikenal sebagai (Penyakit simmonds) yang ditandai dengan kelemahan umum, intoleransi terhadap dingin, napsu makan buruk, penurunan berat badan, dan hipotensi. Wanita yang terserang penyakit ini tidak akan mengalami menstruasi dan pada pria akan menderita impotensi dan kehilanngan libido. Insufisiensi hipofise pada masa kanak-kanak akan mengakibatkan dwarfisme.
Ø  Gangguan sekresi Vasopresin
Vasopresin arginin ( AVP ) merupakan suatu hormon antideuretik (ADH ) yang dibuat dinukleus supraoptik dan paraventrikuler hipotalamus bersama dengan protein pengikatnya, yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian diangkut dari badan – badan sel neuron tempat pembuatannya, melalui akson menuju keujung – ujung saraf yang berada dikelenjar hipofisis posterior tempat penyimpanannya. AVP dan neurofisinnya yang tidak aktif kemudian disekresi bila ada rangsang tertentu. Sekresi AVP diatur  oleh rangsangan yang meningkat pada reseptor volume dan osmotik. Suatu peningkatan osmolalitas cairan esktraseluler atau penurunan volume intravaskuler akan merangsang sekresi AVP ,AVP kemudian terikat pada sebuah reseptor yaitu AVPR2, ditubulus ginjal melalui pengaktifan adenilat siklase  dan peningkatan turunan siklis adenosin monofosfat (cAMP). Akhirnya meningkatkan permeabilitas epitel duktus koligentes ginjal terhadap air.
Gangguan sekresi AVP termasuk diabetes insipidus (DI) dan sindrom ketidakpadanan sekresi  ADH (SIADH). Gangguan ini dapat terjadi akibat dekstrusi nukleus hipotalamik yaitu tempat vasopresin  disintesis (DI sentral) atau sebagai akibat tidak responsifnya tubulus ginjal terhadap vasipresin (DI nefrogenik) walaupun kadar hormon ini sangat tinggi.
Ada beberapa keadaan yang dapat mengakibatkan diabetes insipidus, termasuk tumor – tumor dihipotalamus, tumor – tumor besar hipofisis yang meluas ke luar sela tursika dan menghancurkan nukleus hipotalamik, trauma kepala, cedera hipotalamus pada saat operasi, oklusi pembuluh darah intraserebral dan penyakit – penyakit granulomatosa. DI nefrogenik dapat diturunkan melalui mutasi dalam reseptor vasopresin.
Pasien dengan DI mangalami polidipsi dan poliuria dengan volume urine antara 5 – 10 L/ hari kehilangan cairan yang banyak melalui ginjal ini dapat dikompensasi dengan minum banyak cairan. Bila pasien tidak mampu mempertahankan masukan air minum, berat badannya menurun, kulit dan membran mukosa menjadi kering. Karena minum banyak air  untuk mempertahankan hidrasi tubuh, pasien – pasien ini akan mengeluh penuh pada perut dan anoreksia. Rasa haus dan buang air kecil berlangsung terus pada malam hari sehingga pasien akan merasa terganggu tidurnya karena harus sering buang air kecil pada malam hari. Volume urine menurun dan berat jenis uerine meningkat segera setelah pemberian vasopresin. Pasien – pasien ini mengalami defisiensi vasopresin, namun memiliki respon ginjal yang normal terhadap hormon. Sebaliknya pasien dengan DI nefrogenik gagal untuk merespon AVP.
DI sentral diobati dngan AVP. Preparat yang paling sering dipakai 1-deamino-8 D-arginin vasopresin (DDAVP), diberikan intranasal atau oral dan memiliki jangka waktu kerja dari 12 jam sampai 24 jam. DI nefrogenik ditangani dengan penggantian cairan, pengobatan penyakit ginjal yang mendasarinya, dan penghentian terapi lithium bila memungkinkan. Pengobatan dengan kombinasi hidroklorotiazid dan amilorid dapat menurunkan beratnya poliuria. Pada anak – anak dengan DI nefrogenik, keadaan tersebut akan membaik sesuai dengan keadaan umur.
SIADH biasanya ditemukan menyertai penyakit – penyakit hipotalamus atau paru atau terjadi setelah pemberian obat. Pasien akan mengalami sindrom hipoosmolar dengan kelebihan dan gangguan retensi air. Gejala –gejalanya merupakan akibat adanya hiponatremia berat dan menyerang sistem saraf pusat sehingga pasien mudah marah, kekacauan mental, kejang, dan koma, terutama bila natrium dan serum menurun dibawah 120 mEq/L osmolalitas  serum rendah, dan osmolalitas urine tinggi dan meningkat diatas osmolalitas serum. Pada pasien – pasien ini, BUN dan serun keratinin kadarnya rendah dan natrium urine lebih tinggi dari 20 mEq/L.
Pengobatan SIADH didasarkan pada pembatasan pemberian air, yaitu kurang dari 1000 ml/hari dan pemberian 3% - 5% larutan NaCL yang dicampur dengan furosemid. Diureti ini akan menginduksi pengeluaran cairan dan NaCl, yang disimpan dalam bentuk hipertonik. Demeklosiklin, suatu obat yang secara langsung menghambat efek vasopresin pada tingkat tubulus ginjal, dapat dipakai dengan efektif untuk memperbaiki hipoosmolalitas yang terjadi akibat adanya SIADH.
Ø  Diabetes Insipidus (DI)
            Diabetes Insipidus (DI) ditandai dengan kurangnya ADH sekunder terhadap lesi yang menghancurkan hipotalamus, stalk hipofise, atau hipofise posterior. Kondisi ini dapat disebabkan oleh tumor, infeksi otak atau meningen, hemoragi intrakranial, atau trauma yang mengenai tulanga bagian dasar tengkorak. Klien dengan diabetes insipidus mengeluarkan urine hipotonik dalam jumlah yang besar (5 sampai 6 liter per hari).
            Diabetes insipidus dikelompokan menjadi nefrogenik (adalah diabetes insipidus yang terjadi secara herediter dimana tubulus ginjal tidak berespons secara tepat terhadap ADH, sementara kadar hormon dalam serum normal). Primer (DI yang disebabkan oleh gangguan pada hipofise), sekunder (DI yang disebabkan oleh tumor pada daerah hipofise-hipotalamus, dan tumor sekunder metatasis dari paru-paru dan payudara, dan DI yang berkaitan dengan obat-obatan diakibatkan oleh pemberian litium karbonat [Eskalith, Lihthobid, Carbolith] dan Demeclocyline [Declomycin] ). Obat-obatan ini dapat mempengaruhi respons tubulus ginjal terhadap air.
            Insufisiensi hipotalamus membutuhkan terapi penggantian hormon yang sesuai. Terapi penggantian dengan ADH menunjukkan hasil yang efektif dalam mengobati DI.


B.   Asuhan Keperawatan Klien dengan Hiperfungsi dan Hipofungsi Hipofise

a.      Hiperfungsi Hipofise

I.                   Pengkajian
1.      Riwayat penyakit ; manifestasi klinis tumor hipofise bervariasi tergantung pada hormon mana yang disekresi berlebihan. Tanyakan manifestasi klinis dari peningkatan prolaktin, GH dan ACTH mulai dirasakan.
2.      Kaji usia, jenis kelamin dan riwayat penyakit yang sama dalam keluarga.
3.      Keluhan utama, mencakup :
Ø  Perubahan ukuran dan bentuk tubuh serta organ-organ tubuh  seperti jari-jari, tangan, dsb.
Ø  Perubahan tingkat energi, kelelahan dan letargi.
Ø  Nyeri pada punggung dan perasaan tidak nyaman.
Ø  Dispaneuria dan pada pria disertai dengan impotensia.
Ø  Nyeri kepala, kaji P, Q, R, S, T.
Ø  Gangguan penglihatan seperti menurunnya ketajaman penglihatan, penglihatan ganda, dsb.
Ø  Kesulitan dalam berhubungan seksual.
Ø  Perubahan siklus menstruasi (pada klien wanita) mencakup keteraturan, kesulitan hamil.
Ø  Libido seksual menurun
Ø  Impotensia.
4.      Pemeriksaan fisik mencakup:
Ø  Amati bentuk wajah, khas pada hipersekresi GH seperti bibir dan hidung besar, tulang supraorbita menjolok.
Ø  Kepala, tangan/lengan dan kaki juga bertambah besar, dagu menjorok kedepan.
Ø  Amati adanya kesulitan mengunyah dan geligi yang tidak tumbuh dengan baik.
Ø  Pemeriksaan ketajaman penglihatan akibat kompresi saraf optikus, akan dijumpai penurunan visus.
Ø  Amati perubahan pada persendian di mana klien mengeluh nyeri dan sulit bergerak. Pada pemeriksaan ditemukan mobilitas terbatas.
Ø  Peningkatan perspirasi pada kulit menyebabkan kulit basah karena berkeringat.
Ø  Suara membesar karena hipertropi laring.
Ø  Pada palpasi abdomen, didapat hepatomegali dan splenomegali.
Ø  Hipertensi
Ø  Disfagia akibat lidah membesar.
Ø  Pada perkusi dada dijumpai jantung membesar
5.      Pemeriksaan diagnostik mencakup :
Ø  Kadar prolaktin serum : ACTH, GH
Ø  Foto tengkorak
Ø  CT Scan otak
Ø  Angiografi
Ø  Tes supresi dengan Dexamethason
Ø  Tes toleransi glukosa.

II.                Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan utama yang dapat dijumpai pada klien dengan hiperpituitarisme.
1.      Perubahan citra tubuh b.d perubahan penampilan fisik.
2.      Disfungsi seksual b.d penurunan libido; infertilitas.
Diagnosa keperawatan tambahan yang juga dijumpai adalah:
1.      Nyeri (kepala, punggung) b.d penekanan jaringan oleh tumor; hormon pertumbuhan yang berlebihan.
2.      Takut b.d ancaman kematian akibat tumor otak.
3.      Ansietas b.d ancaman terhadap perubahan status kesehatan.
4.      Koping individu tak efektif b.d hilangnya kontrol terhadap tubuh.
5.      Keterbatasan aktivitas b.d kelemahan, letargi.
6.      Perubahan sensori-perseptual (penglihatan) b.d gangguan transmisi impuls akibat kompresi tumor pada nervus optikus.

III.             Rencana Tindakan Keperawatan
Berikut ini akan diuraikan dua diagnosa keperawatan pertama.

Diagnosa Keperawatan:
Perubahan citra tubuh b.d perubahan penampilan fisik.

Tujuan :
Dalam waktu 2-3 minggu klien akan memiliki kembali citra tubuh yang positif.

Intervensi keperawatan :
a.       Nonpembedahan
v  Klien dengan kelebihan GH
1.      Dorong klien agar mau mengungkapkan pikiran dan perasaannya terhadap perubahan penampilan tubuhnya,
2.      Bantu klien mengidentifikasi kekuatanya serta segi-segi positif yang dapat dikembangkan oleh klien.
v  Klien dengan kelebihan prolaktin
1.      Yakinkan klien bahwa sebagian gejala dapat berkurang dengan pengobatan (ginekomastia, galaktorea).
2.      Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya.
b.      Pemberian obat-obatan
1.      Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti: Bromokriptin (Parlodel), merupakan obat pilihan pada kelebihan prolaktin. Pada mikro adenoma, prolaktin adapat normal kembali. Juga diberikan pada klien dengan akromegali, untuk mengurangi ukuran tumor.
2.      Observasi efek samping pemberian bromokriptin seperti:
Hipotensi ortostatik, iritasi lambung, mual, kram abdomen, dan konstipasi.
3.      Kolaborasi pemberian terapi radiasi.
4.      Awasi efek samping terapi radiasi seperti: hipopituitarisme, kerusakan nervus optikus, disfungsi hipotalamus, dan perubahan lapang pandang.
5.      Kolaborasi tindakan pembedahan.


Diagnosa keperawatan:
Disfungsi seksual b.d hilangnya libido, infertilitas dan impotensi.

Tujuan :
Klien akan mencapai tingkat kepuasan pribadi dari fungsi seksual

Intervensi keperawatan:
1.      Identifikasi masalah spesifik yang berhubungan dengan pengalaman klien terhadap fungsi seksualnya.
2.      Dorong agar klien mau mendiskusikan masalah tersebut dengan pasangannya.
3.      Kolaborasi pemberian obat-obatan bromokriptin.
4.      Bila masalah ini timbul setelah hipofisektomi, kolaborasi pemberian gonadotropin.

IV.             Tindakan Keperawatan dan Pembedahan

Hipofisektomi adalah tindakan pengangkatan adenoma hipofise melalui pembedahan. Prosedur operasi tersebut mencakup tindakan transpenoidal hipofisektomi dengan narkose. Insisi pada lapisan dalam bibir atas dan masuk ke sella tursika melalui sinus spenoidalis. Yang kedua adalah transfrontal kraniotomi yaitu dengan membuka rongga kranium melalui tulang frontal.
            Secara umum prinsip perawatan kllien dengan hipofisektomi adalah sebagai berikut :
·         Pantau status neurologi klien
·         Pantau keseimbangan cairan khususnya terhadap haluaran yang berlebihan dari masukan karena dapat terjadi diabetes insipidus transien.
·         Dorong klien untuk mempertahankan ventilasi paru dengan latihan nafas dalam.
·         Anjurkan klien untuk tidak batuk, menggosok hidung atau bersin.



ü Perawatan preoperasi

1.      Menjelaskan maksud dan tujuan tindakan dilakukan
2.      Menjelaskan penggunaan tampon hidung selama 2-3hari pascaoperasi. Anjurkan klien bernafas melalui mulut selama pemasangan tampon
3.      Menjelaskan penggunaan balut tekan yang ditempatkan dari bawah hidung, menggosok gigi, batuk, bersin, karena hal ini dapat menghambat penyembuhan luka
4.      Menjelaskan berbagai prosedur diagnostik yang diperlukan sebagai persiapan operasi seperti pemeriksaan neurologik, hormonal, lapang pandang, swab tenggorok untuk pemeriksaan kultur dan sensitivitas.

ü Pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan dilakukan sebelum tindakan pembedahan dilaksanakan. Setelah tindakan transpenoidal hipofisektomi, perawat menjelaskan agar klien  menghindari aktivitas yang dapat menghambat penyembuhan seperti mengejan, batuk, dll. Juga jelaskan agar klien mengindahkan faktor-faktor yang dapat mencegah obstipasi.
Klien tidak menyikat gigi satu sampai dua minggu sampai penyembuhan sempurna, cukup berkumur setiap kali setelah makan. Jelaskan bahwa sensasi hilang rasa pada daerah insisi adalah biasa, dapat berlangsung 3-4 bulan. Oleh karena itu anjurkan klien memeriksa gusinya untuk mengetahui adanya lesi dan perdarahan dengan menggunakan cermin setiap hari.
Setelah operasi , pemberian hormon diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan cairan. Jelaskan penggunaan obat-obatan dan jelaskan  pula perlunya tindak lanjut secara teratur.



ü Perawatan pascaoperasi

1.      Amati respons neurologik klien dan catat adalah perubahan penglihatan, disorientasi, dan perubahan kesadaran serta penurunan kekuatan motorik ekstremitas.
2.      Amati pula komplikasi pasca operasi yang lazim terjadi seperti transient insipidus (diabetes insipidus sesaat) : bila terjadi hal tersebut lakukan intervensi sebagai berikut:
a.       Catat cairan yang masuk baik peroral maupun parenteral
b.      Tingkatkan masukan cairan bila ada rasa haus
c.       Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vasopresin
d.      Bila   diperlukan lakukan pemasangan indwelling kateter untuk memudahkan pemantauan haluan cairan.
e.       Ukur BB setiap hari
3.      Anjurkan klien untuk melaporkan pada perawat bila terjadi pengeluaran sekret dari hidung ke faring ( post nasal drip) yang kemungkinan mengandung CSF
4.      Tinggikan posisi kepala 30-45o.
5.      Kaji drainase nasal terhadap kualitas dan kuantitas terhadap kemungkinan mengandung glukosa.
6.      Hindari batuk, ajarkan klien bernafas dalam, lakukan higyene oral secara teratur karena pernafasan mulut dan penggunaan tampon.
7.      Kaji tanda-tanda infeksi (meningitis ) dengan cermat
8.      Kolaborasi pemberian gonadotropin, kortisol sebagai dampak hipofisektomi.

V.                Evaluasi
1.      Klien dapat menerima kekurangan (perubahan fisik) dalam dirinya.
2.      Klien mampu bersosialisi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, tanpa merasa malu akan perbedaan dalam dirinya
3.       Klien mampu beraktivitas secara mandiri


b. Hipofungsi Hipofise
I.                   Pengkajian
Pengkajian keperawatan pada klien dengan kelainan ini antara lain mencakup :
1.      Riwayat penyakit masa lalu. Adakah penyakit atau trauma pada kepala yang pernah diderita klien, serta riwayat radiasi pada kepala.
2.      Sejak kapan keluhan dirasakan. Dampak defisiensi GH mulai tampak pada masa balita sedang defisiasi gonadotropin nyata pada masa pra remaja.
3.      Apakah keluhan terjadi sejak lahir. Tubuh kecil dan kerdil sejak lahir terdapat pada klien kretinisme.
4.      Berat dan tinggi badan saat lahir.
5.      Keluhan utama klien :
a.       Pertumbuhan lambat
b.      Ukuran otot dan tulang kecil
c.       Tanda-tanda seks sekunder tidak berkembang : tidak ada rambut pubis dan aksila, payudara tidak tumbuh, penis tidak tumbuh, tidak mendapat haid, dan lain-lain.
6.      Pemeriksaan Fisik
a.       Amati bentuk dan ukuran tubuh, ukuran BB dan TB, amati bentuk dan ukuran buah dada, pertumbuhan rambut aksila dan pubis, dan pada klien pria, amati pula pertumbuhan rambut di wajah (jenggot dan kumis )
b.      Palpasi kulit, pada wanita biasanya menjadi kering dan kasar
7.      Kaji pula dampak perubahan fisik terhadap kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
8.      Data penunjang dari hsil pemeriksaan diagnostik eperti :
a.       Foto kranium untuk melihat pelebaran dan atau erosi sella tursika
b.      Pemeriksaan serum darah : LH dan FSH , GH, prolaktin, kortisol, aldosteron, testosteron, androgen, tes stimulasi yang mencakup uji toleransi insulin dan stimulasi tiroid realising hormon.



II.                Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat dijumpai pada klien hipopituitarisme adalah :
1.      Gangguan citra tubuh b.d perubahan struktur dan fungsi tubuh akibat defisiensi gonadotropin dan defisiensi hormon pertumbuhan.
2.      Disfungsi seksual
3.      Koping individu tak efektif
4.      Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, pengobatan, dan perawatan di rumah.
5.      Harga diri rendah b.d perubahan penampilan tubuh.
6.      Gangguan persepsi sensorik (penglihatan) b.d gangguan transmisi implus sebagai akibat penekanan tumor pada nervus optikus .
7.      Ansietas b.d ancaman atau perubahan status kesehatan.
8.      Defisit perawatan diri b.d menurunnya kekuatan otot.
9.      Gangguan integritas kulit (kekeringan ) b.d menurunnya kadar hormonal


III.             Rencana Tindakan Keperawatan
Secara umum tujuan yang diharapkan dari perawatan klien dengan hipofungsi hipofisis adalah :
1.      Klien memiliki kembali citra tubuh yang positif dan harga diri yang tinggi.
2.      Klien dapat berpartisipasi aktif dalam program pengobatan
3.      Klien dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari -hari
4.      Klien bebas dari rasa cemas.
5.      Klien terhindar dari komplikasi

IV.             Tindakan Keperawatan
1.      Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat-obatan (hormonal)

ü Defisiensi Gonadotropin

Pria post pubertas diberikan androgen (testosteron). Lebih efektif dengan pemberian intramuskular. Jelaskan maksud pemberian obat dan cara penggunaan. Obat dan dosis biasanya bertahap dengan diawali dosis minimal dan setiap bulannya dinaikan sampai ditemukan dosis yang tepat.
Observasi efek samping penggunaan testosteron seperti ginekomastia dan hipertropi inprostat. Efek maksimal obat ini akan meningkatkan ukuran penis, meningkatkan libido, massa otot dan tulang bertambah, kekuatan otot meningkat dan juga pertumbuhan rambut dada, aksila, serta pubis, sehingga dapat mengembalikan citra diri dan harga diri.
Wanita yang telah mencapai pubertas, mendapat therapy estrogen dan progesteron. Jelaskan hal-hal yang perlu diwaspadai klien seperti hipertensi dan tromboplebitis. Anjurkan agar melakukan follow up secara teratur. Bila menginginkan kehamilan, klien diberi chlomiphene citrat (clonid) untuk merangsang ovulasi.

ü Defisiensi hormon pertumbuhan (GH)

1.      Pemberian hormon pertumbuhan sintetis (eksogen). Somatotropin (Humatrop) harus diberikan sebelum epifise tulang menutup yaitu sebelum masa pubertas.
2.      Ciptakan kondisi agar klien dapat dengan bebas mengungkapkan perasaan dan pikirannya tentang perubahan tubuh yang dialaminya.
3.      Bangkitkan motivasi agar klien mau melaksanakan program pengobatan yang sudah ditentukan.
4.      Anjurkan klien memeriksakan diri secara teratur ke tempat pelayanan terdekat.
5.      Anjurkan pada keluarga untuk dapat membantu klien memenuhi kebutuhan sehari-harinya bila diperlukan serta dapat menciptakan lingkungan yang kondusif dalam keluarga seperti menghindarkan persaingan yang tidak sehat antar anggota keluarga.
6.      Bantu klien untuk mengembangkan sisi positif yang dimiliki serta membantu untuk beradaptasi.
7.      Ajarkan klien cara melakukan perawatan kulit secara teratur setiap hari. Mengguanakan lotion pelembab sangat dianjurkan, tidak menggaruk kulit karena kulit sangat mudah mengalami iritasi.
8.      Berikan pendidikan kesehatan tentang penyakitnya, pengobatan dan kunci keberhasilan pengobatan.
9.      Bagi pasangan yang menginginkan keturunan bangkitkan motivasi mereka untuk dapat mengikuti program pengobatan secara teratur dan berkesinambungan karena untuk upaya ini memerlukan waktu yang lama sehingga butuh kesabaran. Bila dengan pengobatan tidak berhasil maka bantu pasangan untuk mencari jalan keluar seperti mengadopsi anak atau hal-hal lain yang mereka sepakati.

V.                Evaluasi
1.      Klien dapat menerima kekurangan (perubahan fisik) dalam dirinya.
2.      Klien mampu bersosialisi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya,tanpa merasa malu akan perbedaan dalam dirinya
3.       Klien mampu beraktivitas secara mandiri














Daftar Pustaka

Ø  Rumahorbo, Hotma. 1999. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta: EGC.
Ø  Price, A Sylvia dan Lorraine M Wilson. 2006. Patofisiologi vol 2 edisi 6. Jakarta: EGC.
Ø  Bagian Patologi Anatomik FKUI. 1996. Patologi. Jakarta: FKUI.
Ø  Guyton. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: EGC.
Ø  Syaiffudin. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC.



























1 komentar: